Future-back thinking adalah istilah yang dikemukakan oleh Mark W. Johnson & Josh Suskewicz dalam buku Lead from the Future: How to Turn Visionary Thinking Into Breakthrough Growth (2020). Future-back thinking adalah cara berpikir melihat visi masa depan yang ditarik untuk menjadi inisiatif strategis hari ini. Untuk menghadapi ancaman disrupsi dan pergeseran pasar, para pemimpin harus berpikir future-back. Melalui cara berpikir ini, mereka diharapkan bisa menelusuri aspek-aspek yang berpengaruh pada bisnis dan memetakan ancamannya dengan horizon jangka-pangjang.
Tetapi, menurut para penulisnya, kebanyakan para leader masih terjebak dengan present-forward thinking, yakni cara berpikir melihat kondisi hari ini untuk bergerak ke depan. Mereka berpikir bergerak maju bahwa strategi bisnis ke depan dengan melakukan perbaikan (improvement) dan efisiensi kondisi hari ini. Menurut para penulisnya, ini dipengaruhi faktor bias bounded rationality (rasionalitas yang terbatas), yang mana menyelesaikan masalah berdasarkan informasi yang dimiliki saat ini. Cara berpikir ini biasanya digunakan untuk mengurusi rutinitas harian dan evaluasi kinerja bisnis yang bersifat jangka pendek.
Lalu, untuk menghadapi disrupsi dan pergeseran pasar, mana yang lebih cocok?
Menurut para konsultan Innosight ini, lembaga konsultan yang didirikan Clayton Christensen dan rekan-rekannya di Harvard Business School, contoh sederhana untuk memahami perbedaan dua cara berpikir itu adalah bagaimana industri surat kabar cetak merespons disrupsi teknologi internet dan perubahan perilaku pembaca. Present-forward thinking merespons melalui penerbitan dalam bentuk PDF sebagai bentuk improvement agar lebih efektif dan bisa bersaing. Sementara itu, future-back thinker akan melakukan sebaliknya yakni mengembangkan platform media online, multimedia, website dinamis, mesin pencarian, dan lainnya. Dengan demikian, ada perbedaan cara merespons perubahan, dimana future-back thinking dinilai diperlukan untuk kondisi yang strategis jangka panjang.
Contoh paling klasik adalah ketika Steve Jobs kembali ke Apple pada tahun 2000an. Ketika Steve Jobs kembali ke Apple, komputer di rumah menjadi komoditas. Menatap tahun 2010, dia membayangkan peran mikroprosesor dan Apple dalam situasi yang berbeda. Secara berurutan, Apple merilis iPhoto, iMovie, GarageBand, dan iTunes, untuk menghubungkan perangkat digital yang baru saja masuk ke pasar seperti foto, musik, film, dan lainnya. Kemudian mereka melangkah lebih jauh lagi, Steve memperkenalkan serangkaian perangkat mereka sendiri: iPod, iPhone, dan iPad. Apple pun berubah menjadi perusahaan musik, perusahaan kamera, perusahaan telepon, perusahaan gaya hidup, dan bahkan perusahaan teknologi.
Kehebatan Steve Jobs adalah kejelian melihat visi masa depan untuk ditarik menjadi inisiatif strategis hari ini. Sebagai future-back thinker, Steve melihat cara kerja berbagai perangkat elektronik yang digunakan pelanggan hari ini, lalu menciptakan produk masa depan. iPhone diciptakan karena Steve menilai cara kerja telepon, walkman, discplayer, dan internet, dapat dikembangkan dalam satu perangkat. Dari cara kerja itu, ia pun terpikir suatu device iPhone yang pada 2008 kala itu dinilai futuristik karena satu perangkat bisa memberikan berbagai kemudahan untuk penggunanya.
Di momen hari Kebangkitan Nasional 20 Mei ini, menurut penulis, saatnya bukan lagi sekadar dimaknai untuk flashback semata, tetapi barangkali perlu melihatnya dalam kerangka future-back. []