Profit + Purpose = Sustainable Business

  • 4 min read
  • Jan 22, 2021

Profit + purpose = sustainable business menjadi formula lazim digunakan pebisnis zaman now. Dan, kita bisa belajar dari Mizan dan Haidar Bagir.

Setelah buku Conscious Capitalism (2013), tahun lalu John Mackey merilis buku terbarunya berjudul Conscious Leadership (2020). Buku ini dinilai bagus dan inspiratif karena mengupas betapa pentingnya kepemimpinan dalam membangun bisnis berkelanjutan (sustainable business). Secara sederhana, bisnis berkelanjutan bisa terwujud bila profit dan purpose menjadi fondasi dalam tata kelola usaha.

Dan, kepemimpinan yang paham pentingnya purpose (conscious leadership) menjadi aspek krusial untuk mentransformasikan bisnis berkelanjutan. Tanpa kepemimpinan yang visioner dan kuat musykil untuk mewujudkan tata kelola korporasi yang peduli terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, saya memformulakan profit + purpose = sustainable business. Profit adalah mengejar target perusahaan (corporate objectives) yang bersifat keuangan (money-oriented). Dan, purpose ditujukan untuk mencapai misi agung perusahaan (corporate mission) perusahaan yang berdampak baik (social impact). Apabila dua hal ini digabungkan maka akan menciptakan bisnis yang berkelanjutan.

Profit + Purpose = Sustainable Business
Formula Bisnis Berkelanjutan

Mengapa profit + purpose = sustainable business dinilai penting di era disrupsi seperti saat ini? Pertama, perubahan perilaku konsumen yang memiliki kesadaran tentang lingkungan, komunitas ataupun kemanusiaan, tidak sekadar fitur dan harga. Saya menyebutnya sebagai societal benefit. Tak pelak, kini muncul movement marketing agar produk/jasa kian relevan. Kedua, munculnya model bisnis yang tidak sekadar mementingkan profit semata, melainkan mengedepankan social mission juga. Buy one, give one business model. Ketiga, adanya kesadaran di kalangan kapitalis bahwa bisnis yang berkelanjutan harus mengejar dua target: profit + social. Michael Porter menyebutnya sebagai creating shared values.

Menurut saya, salah satu pebisnis yang punya kesadaran pentingnya bisnis berkelanjutan itu adalah Haidar Bagir. Tampaknya, formula profit + purpose = sustainable business ini cukup melekat pada sosok Haidar Bagir, tokoh pemikir Islam yang dikenal sukses membesarkan nama kelompok usaha Mizan.

Profit + Purpose = Sustainable Business
Haidar Bagir, CEO Mizan. Sumber foto di sini.

Usaha penerbitan Mizan didirikan Haidar Bagir bersama teman-temannya di Pasar Kliwon connection, pada 1983, dan hingga kini masih fokus menggeluti isu mengenai keislaman. Meskipun sempat diisukan berkaitan dengan paham syiah sejak kelahirannya karena menerbitkan buku Dialog Sunnah-Syiah (1983) karya A Syarafuddin al Musawi, Haidar dan kelompok usahanya tetap tumbuh dan fokus untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran Islam di tanah air.

Disinilah letak purpose penting keberadaan Mizan: memperkenalkan khasanah intelektualitas Islam dan mengedepan nilai-nilai keislaman melalui produknya untuk segmen pasar muslim di tanah air. Berawal dari bisnis penerbitan buku-buku filsafat dan pemikiran Islam, kini Mizan menjadi kelompok usaha yang lini bisnisnya telah menguasai hampir sebagian besar lini hiburan untuk segmen muslim: buku, film, konten digital dan aplikasi.

Dua Hal

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana Haidar Bagir dan teman-temannya mengimplementasikan formula profit + purpose = sustainable business ini? Saya melihat ada dua hal yang menjadi kunci sukses bisnis keberlanjutan di Mizan ini.

Pertama, yang tak bisa dilepaskan dari kebesaran nama Mizan adalah sosok pemikir muslim yang melekat pada Haidar Bagir. Ia CEO perusahaan sekaligus pemikir yang produktif. Meskipun tidak ingin disebut sebagai pemikir, tetapi tercatat ada 14 buku yang telah ditulisnya dan semuanya berkaitan dengan topik-topik keislaman. Ini sebagai cerminan dari purpose.

Kedua, kunci sukses menjalankan profit + purpose = sustainable business adalah fokus pada core competency. Meskipun unit bisnisnya mulai meluas, Mizan yang mem-positioning-kan sebagai penerbitan muslim, dan layanan yang ditawarkan ke pasar adalah islamic entertainment. Buku, film, pameran, konten digital islami merupakan bagian dari lingkup islamic entertainment. Ini sebagai bentuk profit-maker.

Pemikir Muslim

Bila dilihat dari latar belakangnya, Haidar adalah seorang pemimkir muslim yang punya perhatian terhadap khazanah ilmu pengetahuan. Ia lahir di daerah Pasar Kliwon Solo dengan lingkungan komunitas Arab yang mayoritas dari Hadramaut Yaman. Mereka umumnya adalah alliwiyin atau memiliki garis keturunan Nabi Muhammad SAW. Haidar sendiri merupakan anak Ustadz Muhammad Bagir, yang dinilai kaya wawasan dan open-minded.

Dengan latar belakang lingkungan dan keilmuan dari keluarga inilah mungkin yang membuat Haidar Bagir tertarik pada kajian keislaman. Terlebih, ketika ia masuk Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) 1976 dan aktif di Masjid Salman kian membuka cakrawala keislaman. Saat itu, Bang Imad (Muhammad Imaduddin Abdulrahim) dikenal sebagai aktivis senior muslim yang suka mendiskusikan pemikiran Islam.

Setahun setelah lulus kuliah di ITB, pada 1983 Haidar Bagir (Al-Habsyi) mendirikan penerbitan Mizan bersama dua temannya di Bandung yakni Ali Abdullah (Assegaf) dan Zainal Abidin (Syahab). Kemudian, dua kerabatnya dari lingkungan Pasar Kliwon yang ketika itu membantu permodalan yaitu Abdillah Toha (Assegaf) dan Anis Hadi (Assegaf) turut serta mendirikan Mizan.

Seperti kita ketahui, Indonesia di awal tahun 1980-an tengah euforia terpengaruh oleh Revolusi Iran (1979). Inilah tampaknya yang membuat industri buku-buku keislaman menjadi banyak diminati, khususnya kalangan aktivis muslim di kampus. Tetapi, tampaknya Mizan ingin menjadi penyeimbang. Sebagaimana namanya, Mizan yang berarti keseimbangan, ingin menghadirkan ragam pemikiran Islam yang sedang naik-daun. Mungkin karena itu, buku pertama yang diterbitkan Mizan adalah Dialog Sunni-Syiah (1983) karena bersifat tengah-tengah.

Setelah itu, banyak buku-buku pemikiran muslim berkualitas yang diterbitkan Mizan. Mayoritas buku yang diterbitkan sepanjang tahun 1980-an adalah buku terjemahan. Tetapi, menjelang akhir 1980-an, banyak karya cendikiawan muslim yang diterbitkan oleh Mizan. Diantaranya adalah Cak Nur, Djohan Effendi, Kuntowijoyo, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Yafie Ali, Cak Nun, Azyumardi Azra, dan lainnya.

Haidar sendiri merupakan seorang penulis buku yang produktif, sehingga ia masuk dalam jajaran tokoh pemikir muslim. Mungkin karena alasan ini, CEO perusahaan sekaligus pemikir, yang membuatnya mudah diserang dengan isu syiah. Tetapi, meskipun isu itu telah dihembuskan sejak awal berdirinya, Mizan terbukti menjadi perusahaan penerbitan terbesar kedua di tanah air setelah Kompas Group. Dan kini, Haidar menjadi inisiator Islam Cinta, di mana memperkenalkan nilai-nilai keismalan yang menyejukkan.

Fokus

Kunci sukses menerapkan profit + purpose = sustainable business adalah fokus pada kapabilitas yang dimiliki. Mengapa? Apabila Anda membaca beberapa buku karya Chris Zook, kita jadi tahu bahwa fokus pada core competency bisa menciptakan keunggulan daya saing dan menggarap pasar secara lebih maksimal. Whole Foods fokus pada industri makanan-minuman sehat, Toms Shoes di sepatu, 1 for 1 Water di penyediaan air, Warby Parker (kacamata), KNO Clothing (pakaian), Baby Teresa (pakaian bayi), dan lainnya. Begitupun Mizan yang fokus pada khasanah intelektualitas Islam.

Menurut Chris Zook, core competency adalah kemahiran yang mendalam (deep proficiency) dalam mendorong perusahaan untuk memberikan nilai khas (unique value) kepada pelanggan. Selain itu, core competency juga menciptakan keunggulan daya saing berkelanjutan untuk perusahaan dan membantu memperluas pasar yang berkaitan. Oleh karena itu, dengan trilogi bukunya yang terkenal, Profit from the Core (2010), Beyond the Core (2004) dan Unstoppable (2007), Chris Zook percaya bahwa strategi pertumbuhan berkelanjutan perusahaan dapat ditempuh melalui membangun core competency sehingga bisa bersaing dan menghadapi perubahan business model.

Profit + Purpose = Sustainable Business
Ekosistem Bisnis Mizan. Sumber foto di sini.

Di Mizan, setelah 15 tahun sukses di pasar penerbitan buku-buku Islam, ia melakukan ekspansi produk/layanan ke target pasar  muslim lama atau baru. Ini terlihat dari lini bisnisnya yang berkembang sehingga dikenal sebagai Mizan Group. Di lini utama (core product) Mizan sendiri yakni penerbitan, tetapi tidak hanya menggarap buku-buku keislaman, melainkan juga segmen kanak-kanak, kesusastraan, kebudayaan, dan lainnya.

Tak hanya penerbitan, Mizan juga sudah mengembangan sayap bisnisnya ke area rumah produksi (Mizan Productions), konten digital atraktif (Mizan Applications Publisher), distribusi (Mizan Media Utama), mengelola agen reseller (Mandira Dian Semesta), toko buku online (Mizanstore), hingga konsultan branding (Expose Branding). Di event sendiri, Mizan terkenal sebagai mitra penyelenggara acara pameran buku bergengsi di Asia Tenggara yakni Big Bad Wolf. Dengan demikian, melihat luasnya cakupan bisnisnya, Mizan Group merupakan salah satu penguasa ekosistem bisnis pasar muslim di tanah air. Dengan demikian, tak heran apabila Mizan dikenal sebagai salah satu merek muslim, selain Wardah, yang cukup kuat di pasarnya.

Sumber foto: Stanford, STFI Sadra & Mizan

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *