Societal Benefit

  • 3 min read
  • Apr 06, 2020

Di dalam strategi marketing atau branding dikenal istilah value proposition atau customer benefits. Di buku Managing Brand Equity (1991), David A. Aaker menyebutkan customer benefits sebagai bagian penting dalam membangun brand association. Customer benefit adalah atribut produk dan nilai manfaat yang akan didapatkan oleh konsumen. Dalam bukunya Princples of Marketing (2016), Phillip Kotler & Gary Armstrong menyebut customer benefit sebagai value proposition. Ini diartikan sebagai alasan mengapa kita harus membeli brand tersebut “why should I buy your brand?”

Umumnya, sebagaimana dipaparkan David A. Aaker bahwa ada dua jenis customer benefit yang dikenal yakni functional (rational) atau emotional (self-expressive) benefit. Apabila benefit fungsional itu tangible value yang dirasakan oleh konsumen seperti rasa, fasilitas, layanan, harga, dan lainnya. Sedangkan, emosional ialah intangible value yang didapatkan oleh pelanggan berupa ekspresi diri, nasionalisme, originality, kesamaan nilai-nilai (values) dan lainnya.

Seiring kebangkitan kelas menengah muslim, kini juga ada yang disebut dengan spiritual benefit.

Di bukunya GenM (2017), Yuswohady menyebutkan spiritual benefit sebagai nilai manfaat dari sebuah produk/jasa yang didapat karena mengonsumsi produk tersebut yang sudah sesuai kaidah agama. Kepatuhan ini menciptakan rasa tenang (peace of mind), sehingga tidak merasa bersalah atau berdosa. Mengapa spiritual benefit muncul? Ini disebabkan oleh ledakan kelas menengah muslim. Label halal pada produk makanan-minuman dan label syariah pada jasa keuangan merupakan contoh spiritual benefit.

Namun, ketika saya membantu riset dan penulisan buku direktur salah satu lembaga kemanusiaan ternama, justeru saya menemukan value proposition baru: societal benefit.

Apa itu societal benefit? Di dalam welfare state, social benefit adalah apa yang diberikan negara terhadap rakyatnya sehingga beban mereka lebih ringan. Dalam konteks marketing, societal benefit diartikan sebagai value yang ditawarkan kepada pelanggan yakni nilai manfaat personal sekaligus kontribusi sosial.

Apa bentuk societal benefit dan bedanya dengan customer benefit lainya?

societal benefit
Value Proposition atau Customer Benefit

Di dalam konteks lembaga kemanusiaan, value yang ditawarkan kepada calon donaturnya ialah menciptakan perubahan sosial (social impact). Meningkatkan kemandirian komunitas, masyarakat berdaya, kemampuan mengorganisasi, kesehatan, pendidikan yang bisa diakses rakyat miskin, dan memasarkan hasil tani masyarakat adalah contoh offering pada lembaga kemanusiaan.

Inilah yang saya sebut sebagai societal benefit. Dalam konteks zakat, selain menikmati spiritual benefit, ia juga merasakan societal benefit. Dari sisi spiritual, ketenangan batin karena telah menunaikan kewajiban agama. Dari sisi sosial, muzaki merasakan kebermanfaatan sosial zakatnya untuk kesejahteraan masyarakat lain.

Lalu, pertanyaannya, apakah societal benefit sebagai value proposition bisa diterapkan pada brand non-lembaga kemanusiaan?

Di tengah kondisi makro (kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial), perubahan perilaku konsumen dan adanya dorongan perubahan dari sisi tata kelola perusahaan, societal benefit akan kian penting. Pemicunya ialah perubahan konsumen, kebangkitan conscious capitalism dan lahirnya social platform.

Dari sisi konsumen, mereka tidak hanya fitur produk atau harga kompetitif, melainkan kontribusi sosial apa yang bisa diberikan brand kepada masyarakat. Bila mengutip hasil riset Edelman, konsumen jenis ini adalah belief-driven buyers: mereka yang memiliki keinginan membeli (purchase intent) berdasarkan keberpihakan sikap merek (brands stand) terhadap isu sosial tertentu.

Lalu, dari sisi perusahaan, bangkitnya conscious capitalism, yakni kesadaran tentang pentingnya keselarasan antara ekonomi dan kemanusiaan. Bila dahulu perusahaan itu sangat profit-oriented, dan kini mereka juga kian didorong oleh lingkungan-sosial. Bagi banyak pakar manajemen, conscious capitalism ini jauh lebih sustainable dibandingkan yang sekadar profit-oriented. Untuk itu, muncullah istilah social enterprise dan model bisnis one for one di kalangan startup. Michael E. Porter dan Mark R. Kramer sendiri mengusulkan agar established players tidak hanya memberikan sumbangan dalam skema corporate social responsibility (CSR), melainkan masuk ke dalam seluruh proses bisnisnya dan disebut creating shared value (CSV).

Ketiga, platform adalah yang menjembatani antara kedua belah pihak untuk berkolaborasi membangun kepedulian yang lebih luas. Ini saya sebut sebagai social platform. Crowdfunding, crowdsourcing, collaborative movement dan social volunteer lahir dari social platform yang diinisiasi oleh crowd. Menurut Jeremy Heimans & Henry Timms, ketika peers + platform = new power.

Contoh perusahaan yang mulai mengampanyekan societal benefit ini seperti air mineral dalam kemasan. Di samping keunggulan kejernihan, kebersihan dan fitur air minum lainnya, brand air mineral mulai mengampanyekan kelestarian lingkungan di tempat ia mengeksplorasi air. Contoh lainnya, selain fitur dan keunggulan membersihkan pakaian, merek deterjen sudah mengampanyekan tentang produknya yang ramah lingkungan bagi ekosistem laut.

Dengan model kampanye dan penawaran societal benefit ini, maka bukan tidak mungkin ini akan menjadi daya tarik kuat di mata target pasar.

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *