Repositioning Gemoy Prabowo yang Menggemaskan?

  • 4 min read
  • Jan 10, 2024

Repositioning gemoy Prabowo adalah cara tim pasangan No. 2 membangun persepsi baru agar tetap relevan. Menurut Al Ries & Jack Trout (2010), positioning adalah upaya menciptakan “posisi” di benak konsumen, dan repositioning ialah ikhtiar membangun persepsi baru sebagai upaya penyesuaian persepsi tentang diri agar tetap relevan karena dipicu oleh perubahan, kompetisi, dan krisis. Dengan kata lain, repositoning adalah usaha membangun persepsi baru di benak target pasar.

Dalam tahap ini, repositioning gemoy Prabowo adalah upaya mengganti yangawalnya dipersepsikan tegas, patriot, dan berani, kini menjadi gemoy, yang tindak-tanduknya lebih menyenangkan, lucu, dan menggemaskan. Sejauh ini, inisiatif repositioning gemoy Prabowo dari tegas dan patriot ke gemoy ini dinilai cukup efektif dan bisa diterima di kalangan segmen muda. Contoh simpelnya, anak saya berumur lima tahun saja sudah tahu istilah gemoy. Dengan begitu, ini merupakan sebuah keberhasilan kampanye memperkenalkan positioning baru di masyarakat.

Berbagai peristiwa akhir-akhir ini, kata gemoy memang layak disematkan pada tim pasangan calon (paslon) presiden dan calon wakil presiden No. 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka karena tindak-tanduknya dianggap menggemaskan. Belum lama ini, viral tentang video Zulkifli Hasan di acara Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia tentang sholat pendukung Prabowo. Sebelumnya tentang “ndasmu etik”, asam sulfat, dan lainnya. Meskipun saat ini hasil survei elektabilitasnya berada di atas angin, tetapi berbagai blunder yang dilakukan mungkin saja menggerus posisinya. Dengan demikian, tak aneh bila paslon No. 2 mulai ketar-ketir.

Penulis sendiri melihat repositioning gemoy Prabowo ini menggemaskan. Pertama, gemoy itu gimik, sehingga tidak sesuai sebenarnya dengan karakter aslinya Prabowo. Kedua, meskipun sah-sah saja menggunakan pendekatan emosional, tetapi di dalam Pemilu sebenarnya yang kita perlukan ialah pendekatan rasional, sehingga pendekatan rasional yang sifatnya gimik dinilai untuk kepentingan mengelabui. Ketiga, anggapan anak muda itu suka hal-hal yang menyenangkan dan santuy itu sepenuhnya salah karena mereka peduli terhadap berbagai permasalahan yang dihadapinya. Keempat, “ndasmu etik” yang seolah menggambarkan sikap tidak peduli terhadap etika selama ini.

Repositioning Gemoy Prabowo, Otentik atau Gimik?

Sebuah positioning akan berhasil bila ia berasal dari core identity. Artinya, ia berasal dari sesuatu yang unik dalam dirinya, dan marketing hanyalah sebuah teknik untuk mengamplifikasi keunikan atau keunggulan yang dimilikinya. Dengan kata lain, sebuah positioning sebaiknya tidak keluar dari keunikan yang dimiliki, sehingga ia diharapkan otentik dan bukan gimik.

Saya melihat, Prabowo sendiri sejak dahulu punya keunikan dalam hal sikap-sikap tegas dan patriotisme. Karakternya dibentuk dari karirnya di dunia militer. Untuk itu, tidak ada yang salah bila ia membangun persepsi sebagai orang yang tegas, rela mati untuk tanah air, patriot, nasionalisme, dan lainnya. Dengan core identity demikian, barangkali gemoy sekadar atribut lain yang melengkapi. Contohnya, meskipun ia tegas dan patriotik, tetapi gemoy.

Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. Meskipun tim pemenangan melakukan kampanye pemasaran terintegrasi dengan pesan komunikasi gemoy, ini belum tentu berhasil karena sifat aslinya Prabowo masih terlihat di acara debat ataupun berbagai pernyataan publik. Di dalam debat pertama, Prabowo sepertinya terpancing emosi oleh lawan debatnya, sehingga pernyataan-pernyataannya dan body languange-nya tidak terlihat gemoy melainkan mengejek. Ia pun terlihat aslinya yang emosional dan selalu menggunakan kata-kata patriot di ucapannya. Lalu, di rapat internal partainya, beredar video “ndasmu etik”. Meskipun diklarifikasi itu sekadar guyonan, tetapi dari nada bicaranya, terlihat bahwa Prabowo seperti mengejek.

Dengan demikian, tak bisa dibohongi bahwa gemoy itu atribut gimik untuk membuat Prabowo terlihat tetap relevan di mata segmen muda.

Rasional atau Emosional?

Bila kandidat nomor 1 dan nomor 3 lebih memilih menawarkan sesuatu yang rasional dengan mengusung istilah “perubahan” dan “sat set”, paslon nomor urut 2 justeru memilih pesan yang emosional. Di dalam studi manajemen pemasaran, kita mengenal istilah value proposition yang dikategorikan berdasarkan rasional dan emosional. Sederhananya, value proposition yang rasional itu nilai manfaat yang diterima secara nyata. Sementara value proposition yang emosional itu nilai manfaat yang lebih intangible. Kedua-duanya sah-sah saja digunakan untuk komunikasi pemasaran, dan semuanya bisa terbilang efektif.

Ada dugaan bahwa alasan repositioning gemoy Prabowo ini dipicu keinginan untuk menyasar segmen GenZ. Dan, generasi ini ditengarai lebih menyukai gaya komunikasi emosional, yang menitikberatkan pada asepk-aspek benefit intangible. Gemoy adalah contoh emosional. Benarkah demikian?

Bila mengutip buku Absolute Value (2014) karya Itamar Simonson & Emanuel Rosen, ada kecenderungan bahwa konsumen hari ini sangat kritis terhadap value yang diperoleh. Ini terlihat dari proses pengambilan keputusan yang memerlukan banyak sumber informasi. Menurut hemat penulis, masyarakat pemilih tetap berpijak pada aspek rasional. Apalagi, dari sisi proses pengambilan keputusan, sumber informasi yang digunakan oleh generasi-generasi mudah tidaklah satu sumber semata. Dengan demikian, bila target yang disasar cenderung rasional, sulit membayangkan bahwa repositioning gemoy Prabowo ini akan berhasil.

Yang Muda, Yang Santuy?

Alasan terbesar untuk repositioning gemoy Prabowo atau “meremajakan” imej tentang dirinya ialah mengincar segmen muda di platform media sosial yang memiliki video reels seperti Tiktok atau Instagram. Katanya, segmen muda di platform ini suka hiburan. Anggapan ini barangkali ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar. Apakah mereka cukup didekati dengan sesuatu yang menghibur?

Meskipun mereka dikesankan santuy dan suka hiburan, bukan berarti mereka tidak peka dan kritis. Anak-anak muda saat ini sudah melek informasi dan mereka tahu permasalahan yang dihadapinya seperti masalah pendidikan, lapangan pekerjaan, ancaman perubahan iklim, biaya hidup kian mahal, ancaman kesusahan memiliki rumah, dan lainnya. Dengan demikian, untuk pilihan presiden, bisa jadi mereka akan mencari kandidat yang dianggap bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang akan mereka hadapi kelak.

Oleh karena itu, bila fokus sekadar pada repositioning gemoy Prabowo dan aktivasinya, ini tidaklah cukup untuk meraih simpati mereka. Satu-satunya yang rasional barangkali adalah tawaran program makan siang dan minum susu gratis demi mengurangi stunting. Tetapi, program inipun susah untuk diterima karena segmen anak muda berpikir jangka panjang. Mereka akan berpikir, apakah program itu akan berdampak jangka panjang.

Ketika pidato Prabowo tentang “ndasmu etik” viral, wajar saja bila mereka seperti kebakaran jenggot, melakukan klarifikasi secara masif. Mengapa? Pasalnya bila menurut hasil riset McKinsey, GenZ itu generasi yang peduli etika. Ini terlihat dari perilaku membeli mereka, todal hanya ukuran benefit produk, melainkan etika apa yang diperjuangkan oleh brand tersebut. Kini, Prabowo yang saat di debat pertama diserang dengan pertanyaan etika oleh Anies Baswedan seolah merasa tidak ada yang salah karena berlindung dari putusan hukum.

Kini, generasi muda bisa saja menilai bahwa repositioning gemoy Prabowo itu pepesan kosong semata alias gimik. Tidak ada sesuatu yang diperjuangkan oleh kandidat ini. Dengan demikin, bukan hal aneh, bila lambat-laut jika generasi muda kelak sudah bisa menebak bahwa gemoy itu gimik semata. []

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *