Suara konsumen ialah insight penting bagi orang business owner ataupun marketer. Ia bisa menjadi sumber inovasi produk atau layanan yang lebih baik.
Di dunia politik, kita mendengar istilah vox populi, vox dei. Suara rakyat, suara tuhan. Apabila istilah itu kita terapkan dalam dunia pemasaran, apakah suara konsumen sama dengan suara tuhan? Jika kita membuat premis bahwa rakyat itu sama dengan tuhan dan penguasa adalah pelayan (atau layanan konsumen di dalam korporasi), barangkali suara pelanggan yang berarti suara tuhan itu bisa disamakan. Konsumen menghasilkan pendapatan untuk pemasaran perusahaan, dan rakyat mempercayakan pajak dan isi bumi untuk dikelola penguasa. Secara logika sederhana, mungkin ini punya posisi yang sama.
Dalam dunia pemasaran dan pelayanan, konsumen adalah raja. Apa yang dikeluhkan, diprotes dan masukan dari konsumen, wajib didengarkan. Apalagi jika kita melihat tren bisnis ke depan yang mengarah pada subscription business model dan advocacy marketing agar berkelanjutan, sepahit apapun suara konsumen pamali untuk diabaikan.
Oleh karena itu, saat ada peristiwa beredarnya surat peringatan dari Eiger pada pelanggannya untuk menurunkan konten ulasan tentang produk kacamata, terlihat tidak lazim. Meskipun kualitas konten dinilai kurang proper, menurut hemat saya, seburuk apapun suara konsumen perlu diterima. Walaupun kadang kita menghadapi black campaign, dalam hal ini tidak ada istilahnya meminta konsumen untuk menurunkan kontennya. Pamali.
Beberapa waktu lalu, Eiger mengirimkan semacam surat peringatan untuk pelanggannya bernama Dian Widiyanarko yang mengupas produk kacamata dan menyarankan agar kontennya diturunkan karena dinilai kualitas video YouTube-nya tidak bagus. Sontak, surat ini pun viral karena Eiger dituduh “tidak tahu berterimakasih”. Padahal, menurut reviewer-nya, ulasan video produk ini bukanlah endorsement dan bernada informasi positif. Tak berhenti di situ, menurut penelusuran banyak orang yang mengulas produk Eiger di YouTube, mereka menduga ternyata memang ada karyawan Eiger yang “ditugaskan” untuk memantau dan berkomentar di kolom-kolom komen ulasan produk.
Sebenarnya, ketika brand mendapatkan perhatian dari konsumen hingga bahkan mereka rela mengulas dan membagikan hasil ulasannya, itu adalah puncak keberhasilan pemasaran. Suara konsumen tidak dibayar, mereka ikhlas membuat konten ulasan sendiri dan membagikan ke komunitasnya. Bila informasi dan tone kontennya positif, bukankah ini menandakan bahwa mereka loyal dan merekomendasikannya.
Ini agak aneh untuk perusahaan yang melek digital dan target pasarnya mayoritas adalah digital native, anak muda dan well-educated. Untungnya, Eiger pun responsif dan langsung menyampaikan surat terbuka permintaan maaf kepada pemirsa media sosial.
Sayangnya, surat protes dari Eiger itu telah langsung memicu kompetitor atau merek bukan kompetitor untuk membuat surat tandingan yang isinya berkebalikan dari Eiger: berterimakasih kepada pelanggan dan mereka diperbolehkan untuk mengulas apapun. Atas curi start ini, respon pelanggan pun positif.
Satu hal yang perlu kita pelajari dari kasus Eiger ini adalah pergeseran konsumen yang menuntut mereka untuk bebas menyuarakan pendapatnya. Mereka tidak ingin dikekang dan diarahkan pendapatnya. Dengan begitu, sebuah merek tidak bisa membatasi apa yang menurut mereka benar. Dan, platform yang tersedia memnungkinkan mereka untuk berpendapat dan menilai bagaimana kualitas produk dan layanan.
Pergeseran Konsumen
Tak hanya itu, menurut Itamar Simonson dkk., dalam bukunya Absolute Value (2014) bahwa preferensi pembelian konsumen mengalami pergeseran dari emosional menjadi rasional. Makin rasionalnya konsumen ini ditandai dengan menguatnya kepercayaan masyarakat terhadap review oleh teman sendiri atau komunitas. Mereka tidak lagi sekadar percaya pada ekuitas merek dan komunikasi yang mengedepankan emotional benefit dari produk/jasa.
Contoh sederhanya, bila dahulu konsumen hotel lebih percaya pada kekuatan ekuitas merek dari nama besarnya, kini mereka justeru melihat review atau testimoni dari konsumen di platform third party atau media sosial. Apa yang mereka cari? Mereka mencoba membandingkan antara harga yang harus dibayar dengan benefit yang diperoleh melalui rating atau ulasan konsumen lain.
Dengan begitu, rasionalnya konsumen, mereka tidak lagi berpatok pada kedekatan terhadap brand semata, melainkan hal-hal rasional: komparasi harga, fitur, layanan purna jual, dan lainnya.
Oleh karena itu, ketika konsumen semakin rasional, customer review merupakan cara membangunan kedekatan dengan target pasar. Contoh simpelnya ialah ketika orang akan memutuskan membeli di lapak Anda di ecommerce, mayoritas mereka melihat feedback, testimoni dan rating yang diberikan. Skornya ini dapat mempengaruhi keputusan mereka membeli atau tidak.
More Listening, More Understanding
Baru-baru ini, terbit sebuah buku menarik berjudul The Feeling Economy: How Artificial Intelligence Is Creating the Era of Empathy (2021) oleh Roland Rust & Huang Ming-Hui. Ide besar dari buku ini adalah bagaimana pergeseran cara memasarkan kepada konsumen yang meskipun mereka semakin rasional, tetapi di sisi lain mereka amat menginginkan personalized.
Untuk itu, the feeling economy bercerita bagaimana konsumen di masa depan dapat ditarget dengan teknolgi artificial intelligence (AI) yang memungkinkan bisa membantu mereka, karena brand mengetahui persis apa yang diinginkan konsumen. Melalui platform AI, pemilik brand memungkinkan untuk kian dekat dengan konsumen karena instensif melihat dan mendengarkan semua perilakunya.
Dengan berkembangnya AI, ini memungkinkan brand owner menggali informasi hingga predictive marketing. AI mencerminkan bagaimana pemilik merek mendengarkan suara konsumen dan memperhatikan perilaku target pasarnya, sehingga ia akan lebih presisi melayaninya.
Dalam buku biografinya Steve Jobs (2011), sekalipun Steve Jobs tidak percaya dengan hasil survei pasar (market research) dan lebih percaya pada nalurinya, tetapi ia sangat peduli dengan suara konsumen. Mengapa? Dari situ, ia tahu bagaimana pengalaman pelanggan ketika menggunakan produknya. Dari mendengarkan pelanggan langsung, ia bisa mendapatkan insight apa yang sebenarnya diinginkan pelanggan.
Oleh karena itu, banyak pakar yang menyebutkan tentang pentingnya mendengarkan suara konsumen. Semakin banyak mendengarkan, semakin kita bisa memahami keinginan dan impian pelanggan. Kian kita acuh, konsumen menjauh. Ini bisa berimplikasi pada ketidakpuasan layanan, switching customer dan penjualan pun turun. Bahkan, brand harus mendengarkan dan merangkul pelanggan yang benci sekalipun.
New Power
Dengan kekuatan media sosial yang memungkinkan setiap orang terkoneksi satu sama lain, ini adalah era di mana konsumen telah berubah menjadi new power: sebuah kekuatan independen konsumen di era digital. Sewaktu-waktu, kekuatan baru baru ini bisa merusak imej merek. Eiger menjadi viral karena surat teguran tim legalnya ke pengguna yang mengulasnya. Rugi imej, dan bisa berdampak pada kinerja penjualan.
Bukan tidak mungkin, kekuatan baru ini dapat memboikot merek Anda. Produk-produk milik perusahaan Prancis di tanah air diboikot gara-gara pernyataan politik Emmanuel Macron yang dinilai menyudutkan Islam saat peristiwa pemenggalan kepala guru di Prancis. AICE mendapatkan atensi untuk diboikot di media sosial yang cukup kencang karena dinilai tidak memperhatikan tenaga kerjanya. Sari Roti diboikot karena perbedaan preferensi politik. Dan, banyak kasus contoh lainnya.
Peers + platform = new power, begitulah formula bagaimana melihat kekuatan baru saat ini. Peers mencerminkan komunitas atau pertemanan, dan platform ialah medan digital yang memungkinkan setiap orang untuk mudah berpartisipasi atau membagikan kabar dan keluhannya di publik. Dengan demikian, new power ini semakin garang bersuara.
Sumber foto: SlideModel.com & Detik.com