Gerakan Wakaf Uang, Anak Muda dan Tantangan Kredibilitas

  • 5 min read
  • Feb 01, 2021
Wakaf Uang

Gerakan nasional wakaf uang merupakan kampanye penting untuk meningkatkan penetrasi pasar filantropi. Anak muda bisa jadi segmen yang atraktif. Tantangannya adalah menciptakan rasa percaya (kredibilitas) di mata mereka.

Tulisan ini juga dimuat di Detik.com.

Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang dicanangkan Pemerintah (25/1) memunculkan harapan untuk membantu pengentasan ketimpangan dan kemiskinan. Benarkah demikian? Siapa yang ditarget? Lantas, bagaimana respons masyarakat terhadap GNWU ini?

Ketika penulis melakukan riset konsumen dan menulis buku GenM: Generation Muslim (2017), kami sudah memprediksi bahwa wakaf uang akan menjadi salah satu produk filantropi yang bakal naik daun. Mengapa? Dengan kesadaran memberi yang semakin meningkat di kalangan masyarakat serta fasilitas kemudahan dalam skema wakaf tunai, bukan tidak mungkin bahwa ini akan menjadi the new rising star di kalangan lembaga pengelola dana publik.

Terbukti, ketika penulis berdiskusi dengan salah satu direktur di Dompet Dhuafa, wakaf uang tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir, walaupun nilai rupiahnya masih kalah dibandingkan jenis “produk” filantropi lain seperti zakat, infaq, sedekah, dan lainnya. Untuk itu, tak salah jika Pemerintah punya harapan besar terhadap wakaf tunai agar pangsa pasarnya semakin membesar sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan masyarakat.

Lalu, siapa yang harus disasar agar program gerakan wakaf uang ini berhasil? Menurut hemat penulis, anak muda adalah segmen yang sedang hot seperti terlihat dari hasil Sensus Penduduk 2020 BPS. Anak muda ini adalah mereka yang berada dalam rentang 18-40 tahun yaitu Gen Z dan Gen Y. Berdasarkan data SP 2020 BPS, terdapat jumlah Gen Z sebesar 27,94% (74,93 juta) dan Milenial sekitar 25,87% (69,38 juta).

Dengan porsi lebih dari 50% populasi Indonesia, maka ini bisa dikatakan sebagai masa depan pasar wakaf uang. Pertanyaannya, bagaimana cara menyasar segmen ini? Kuncinya adalah kita harus memahami perilaku mereka. Penulis memetakan ada tiga karakteristik penting dalam perilaku memberi mereka (giving behavior) yakni berpendapatan pas-pasan tetapi suka berbagi, memiliki rasa empati serta kepedulian sosial dan generasi digital yang cenderung cashless.

Pendapatan Pas-Pasan Tetapi Suka Berbagi

Segmen anak muda ini dikenal sebagai kelompok yang memiliki daya beli atau simpanan terbatas. Hal ini wajar karena mereka adalah orang yang masih meniti karir atau karirnya yang sedang berada di area tengah-tengah. Dengan begitu, kondisi keuangannya relatif masih terbatas.

Meskipun dari sisi kepemilikan uang simpanan di tabungan mayoritas orang Indonesia <100 juta, tetapi dalam mendonasikan uang, Indonesia masuk dalam 10 negara besar yang dermawan di dunia menurut World Giving Index 2009-2018 oleh Charities Aid Foundation. Dari kesepuluh negara paling dermawan itu, tiga diantaranya adalah negara berkembang yang berpendapatan menengah yakni Myanmar, Sri Lanka dan Indonesia. Sisanya adalah negara maju dan berpendapatan tinggi.

Pada tahun 2018 sendiri, dengan variabel (1) membantu orang asing, (2) mendonasikan uang dan (3) volunteering time, Indonesia menempati posisi ke-1 di dunia paling dermawan. Dalam laporan World Giving Index 2018 disebutkan bahwa dalam hal mendonasikan uang, ada 78% orang Indonesia yang gemar berbagi. Dengan demikian, meskipun berpendapatan pas-pasan, sebenarnya gaya hidup berbagi dalam masyarakat Indonesia itu sudah mendarah daging.

Wakaf uang
Indonesia Rankig 1 di World Giving Index 2018.

Adanya wakaf uang ini, penulis kira memang dirancang untuk dapat memberikan peluang bagi segmen anak muda yang dari sisi aset likuid atau non-likuid belum terlalu banyak. Dengan wakaf tunai, mereka bisa menjadi wakif berdasarkan tingkat kemampuannya. Mereka bisa menyisihkan dari penghasilannya untuk wakaf produktif yang akan dikelola nazhir tanpa khawatir mengganggu pos pengeluaran lainnya.

Muda dan Bergerak

Sebagaimana sejumlah hasil survei yang menunjukkan bahwa kelompok anak muda ini lebih menyukai social business innovation atau social movement marketing daripada sekadar business as usual atau taktik pemasaran biasa. Bila di dalam pemasaran ada kategori benefit fungsional dan emosional, maka mereka adalah kelompok orang yang mulai mempertimbangkan societal benefit di dalam keputusan pembelian: manfaat yang didapat oleh konsumen karena membeli produk/jasa atas kontribusi brand terhadap pemecahan permasalahan sosial kemasyarakatan masyarakat (social impact). Umpamanya, anak muda suka membeli brand kopi yang dinilai punya kepedulian pada petani kopi daripada sekadar menawarkan kenikmatan rasa atau promo harga.

Tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak muda ini membuat mereka tidak sekadar konsumtif semata, melainkan memiliki aspirasi kepedulian terhadap semata ataupun lingkungan. Muda dan bergerak. Apabila gerakan wakaf uang ini ingin menyasar kelompok anak muda, maka program adalah value proposition yang ingin dilihat oleh mereka. Seberapa menarik program yang ditawarkan sehingga cocok dengan aspirasi kesadaran sosialnya.

Selain itu, karena mereka melek informasi dan digital native, perilaku anak muda ini juga ingin tahu bagaimana program itu dijalankan, siapa target penerima manfaat, transparansi pelaksanaan, paramater pencapaian, hingga progres hasil yang dicapai. Menurut salah satu direktur di Dompet Dhuafa, anak muda ini cukup demanding untuk memantau pelaksanaan program. Karena itu, menarget mereka haruslah profesional dan telaten untuk melayani kemauan mereka.

Ketika saya menulis buku GenM dan melakukan survei di lapangan, banyak responden yang mengatakan bahwa ketika memilih lembaga filantropi untuk menyalurkan donasi atau wakaf, mereka memilih lembaga yang direkomendasikan oleh teman atau memiliki kredibilitas. Kredibilitas di sini dapat diartikan sebagai profesionalisme dalam mengelola: bagaimana program yang dirancang, siapa penerima manfaat, parameter target capaian program, transparansi penyelenggaraan, hingga progres hasil capaian.

Generasi Cashless

Bila berkaca pada perilakunya, anak muda ini adalah digital native yang rata-rata sangat mengandalkan pada cara kemudahan bertransaksi. Kemudahan bertransaksi itu salah satu cirinya ialah cashless karena transaksi secara mobile. Karena itu, tak heran apabila mereka bisa disebut sebagai cashless generations.

Dalam perilaku filantropi pun mayoritas anak muda ini mengandalkan platform cashless. Tak heran apabila online philanthropy platform tumbuh pesat di tanah air, yang mayoritas donaturnya adalah anak muda. Contohnya, platform Kitabisa yang berbasis online mampu mengumpulkan dana publik (fund raising) yang nilainya kini telah melewati lembaga pengelola uang masyarakat.

Adanya wakaf uang ini dimungkinkan calon wakif (donatur wakaf) dimudahkan untuk transaksi cashless. Dalam akad, mereka bisa memberikan wakaf tunai dalam bentuk transfer, autodebit ataupun cara lainnya. Dengan demikian, wakaf tunai ini sangat sesuai dengan perilaku anak muda yang serba non-tunai.

Tantangan Kredibilitas

Di atas adalah potret perilaku anak muda dalam berwakaf. Pertanyaannya, apa tantangan untuk menyukseskan gerakan nasional wakaf uang ini? Penulis melihat satu tantangan terbesar dari mengampanyekan gerakan ini adalah kredibilitas inisiator dan lembaga pengelola dana publik.

Misi gerakan wakaf sendiri sebenarnya sungguh mulia dan semua orang atau calon donaturnya yang dibidik pasti menyukainya. Gerakan ini bisa membantu dalam penanganan kemiskinan akibat pandemi. Mengapa? Dengan wakaf uang, donatur bisa mendonasikan pendapatannya secara reguler yang akan dikelola lembaga pengelola dana publik untuk turut serta dalam program penanggulangan kemiskinan.

Akan tetapi, ketika melihat inisiator kampanye gerakan wakaf uang yang menonjol dipimpin oleh Presiden, Wakil Presiden dan Badan Wakaf Indonesia (representasi lembaga Pemerintah) ini agak disayangkan. Menurut penulis, sebaiknya bukanlah Pemerintah yang mengampanyekan ini. Apa pasalnya? Gerakan ini dikampanyekan di tengah-tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah dalam menangani isu radikalisme dan ramainya pemberitaan kasus korupsi bansos. Kedua peristiwa ini tentu sedikit-banyak mempengaruhi persepsi publik terhadap kinerja dalam merangkul umat Islam dan mengelola dana masyarakat.

Dalam hal menangani isu radikalisme, meskipun kelompok yang dianggap radikal oleh Pemerintah ini dinilai jumlahnya sedikit, tetapi gaungnya di media sosial cukup kencang dalam mengkritisi kinerja Pemerintah, sehingga bisa mempengaruhi aspirasi publik. Dengan demikian, kampanye gerakan wakaf oleh Pemerintah dapat menimbulkan kesan, “setelah kelompok Islam ‘dipukul’, kini ingin uangnya (wakaf)”.

Sedangkan di dalam pengelolaan dana masyarakat, munculnya kasus korupsi dana bansos ini bisa memicu ketidakpercayaan umat. Meskipun Pemerintah bukan pengelola langsung dan bertindak sebagai regulator wakaf uang, tetapi karena inisiator gerakannya langsung dipimpin Presiden, Wakil Presiden dan para menteri, masyarakat belum tentu langsung percaya seratus persen. Dengan demikian, ini bisa menyulitkan untuk membangun kampanye gerakan wakaf tunai. Ke depan, sebaiknya Pemerintah menggandeng lembaga-lembaga pengelola dana publik yang kredibel untuk menjadi inisiator gerakan. Dengan cara ini, barangkali kita bisa merangkul hati masyarakat untuk percaya mewakafkan hartanya.

Sumber foto: Badan Wakaf Indonesia

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *