Di dalam salah satu artikel media disebutkan bahwa kelas menengah rentan untuk turun kelas seiring dengan masifnya pandemi Covid-19, dan sedikitnya stimulus ekonomi untuk menopang mereka. Padahal, dari sisi proporsi populasi dan kontribusi konsumsi rumah tangga, mereka merupakan kelompok yang cukup diperhitungkan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, kelas menengah didefinisikan sebagai orang yang memiliki pengeluaran dengan rentang US$7.75-38/day/person atau sekitar Rp1.2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Dengan pengeluaran segitu, menurut Bank Dunia, mereka relatif aman atau rentan jatuh ke kelas di bawahnya. Jumlah mereka mencapai 52 juta atau 1 diantara 5 orang Indonesia adalah kelas menengah.
Namun, kalkulasi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia ini belum memperhitungkan adanya pandemi Covid-19. Dengan adanya Covid-19, ancaman PHK, penurunan upah nominal dan jaminan sosial barangkali akan berdampak langsung terhadap daya beli kelas menengah. Bukan tidak mungkin, bahwa mereka akan bergabung ke kelas di bawahnya yang berjumlah 115 juta jiwa dan memang rentan miskin yakni Aspiring Middle Class, Vulnerable dan Poor.
Di luar itu, saya melihat adanya ancaman terhadap kegoyahan posisinya, mereka menjadi kelas yang paling gelisah untuk mengikuti dan memantau jalannya Pemerintah dalam mengelola pandemi Covid-19 ini. Saya melihat, ada tiga upaya yang mereka lakukan agar posisinya tetap bertahan di tengah krisis yakni menjadi pembeli yang bijak (smart buyers), memiliki kesadaran sosial (social consciousness) sehingga menjadi kritis, dan gencar menggalan sumber daya melalui platform online (new power).
Smart Buyers
Ancaman krisis ekonomi ini, sudah tentu akan menjadikan mereka sebagai pembeli yang cerdas. Dalam hal ini, mereka harus pintar mengelola arus kas rumah tangga agar tetap sehat di masa krisis: pengeluaran tidak boleh lebih dari pemasukan. Lalu, bagaimana mereka menjadi smart buyers?
Ada beberapa perilaku yang khas kelas menengah. Pertama, merencanakan belanja secara berkala. Pandemi Covid-19 yang berpengaruh terhadap ekonomi makro dan mikro secara langsung, ini mendorong setiap orang pintar untuk berbelanja. Taktiknya adalah belanja secara berkala, yang umumnya mingguan. Mengapa? Mereka bisa meminimalisir kontak fisik dengan orang lain dan menjaga keamanan stok kebutuhan sehari-hari untuk selama seminggu. Worst case, tiba-tiba distribusi barang macet, mereka masih punya stok.
Kedua, dengan sikap kehati-hatian akan perhitungan masa depan, maka mereka harus pintar-pintar mencari tempat berbelanja. Akhirnya, yang mereka cari ialah penyedia kebutuhan dengan harga terjangkau dan menawarkan diskon. Untuk itu, tak heran apabila industri retail offline maupun online gencar melakukan promosi besar-besaran agar kelas menengah tetap konsumtif.
Ketiga, menyisihkan emergency fund untuk jaga-jaga. Pandemi Covid-19 ini tidak bisa kita prediksi kapan akan berakhir dan dampaknya di masa depan seperti apa. Meskipun Pemerintah menjanjikan jaring pengaman sosial, tetapi kelas menengah pesimis akan “kecipratan” stimulus tersebut. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan diri sendiri, kelas menengah memilih untuk menyisihkan pengeluarannya menjadi emergency fund.
Social Consciousness
Di samping daya beli, kelas menengah juga memiliki karakteristik sebagai kelompok terdidik. Secara demografis, rata-rata kelas menengah Indonesia berpendidikan relatif tinggi. Latar belakang pendidikan mereka minimal ialah tamatan SMA/SMK. Dengan latar belakang pendidikan tinggi ini, maka ia punya kesadaran sosial yang tinggi. Ia adalah gerbong yang akan menyuarakan kritik terhadap Pemerintah.
Tak heran, apabila kelas menengah yang “berisik” menyuarakan aspirasi kelompoknya sendiri atau masyarakat kelas bawah. Jika tidak ada pandemi, mereka kerap turun ke jalan. Kini, cara mereka menyuarakan aspirasi melalui platform media sosial ataupun petisi online. Suara itu menjadi gelembung besar dan trending topics di media sosial. Atas keresahan dan kritisisme kelas menengah ini, tak jarang Pemerintah pun akhirnya mendengarkan aspirasi mereka.
Tak berhenti di level kritik, dengan kesadaran sosial tinggi, kelas menengah memiliki spirit aksi dan rasa kepedulian terhadap sesama. Ada ragam cara yang mereka lakukan yakni program buy one, give one, donasi, menjadi relawan lapangan, pegiat edukasi, dan lainnya.
New Power
Dengan daya beli yang cukup dan memiliki wawasan, maka gadget dan internet adalah bagian dari keseharian kelas menengah. Mereka familiar dengan platform media sosial ataupun perangkat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Gelombang yang besar (crowd) dan penggunaan media sosial (platform) sebagai medan perjuangan, sebagai dikatakan Jeremy Heimans dan Henry Timms disebut sebagai new power.
Karakteristik new power itu ibarat arus (current), terbuka, partisipatif, informal, peers-driven, upload, dan lainnya. Sementara itu, old power ibarat mata uang yang dimiliki area tertetnu (currency), tertutup, membership, formal, leader-driven, download, dan lainnya.
Melalui platform internet, kelas menengah menginisiasi kampanye #dirumahaja, konser edukasi online streaming, gerakan kepedulian, gotong-royong, penggalangan dana melalui crowdfunding, mengajak relawan bergabung, mengkritisi kebijakan Pemerintah, dan tak jarang memviralkan perilaku yang shareable. Dengan platform internet, mereka menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan.