Akhir-akhir ini, sejak debat capres bergulir, etika kepemimpinan mengemuka di wacana umum. Sebelumnya hampir tidak pernah ada wacana demikian. Ini sebuah pertanda bagus orang mulai sadar pentingnya kepemimpinan berlandaskan nilai-nilai, dan bagaimana kepemimpinan nirnilai itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan kepemimpinan nasional. Apa itu kepemimpinan nirnilai?
Bila kepemimpinan ber-nilai (berlandaskan nilai) adalah seni kepemimpinan yang segala tindak-tanduknya dilandasi nilai, maka kepemimpinan nirnilai itu sebaliknya. Kepemimpinan nirnilai adalah seni kepemimpinan yang cenderung tidak dilandasi oleh nilai-nilai, sehingga terkesan pragmatis, oportunis, egois (self-centered), dan berorientasi pada things. Pragmatis itu mencerminkan apa yang dikejarnya relatif jangka-pendek. Oportunis ialah apa yang dianggapnya menguntungkan saat itu semata. Egois karena lebih memilih untuk kepentingan pribadi. Dan, berorientasi pada things karena apa yang dikejarnya bersifat bangunan fisik semata.
Salah satu yang harus diwaspadai menjelang Pemilu 2024 adalah pemimpin nirnilai, yakni orang yang tidak memiliki pegangan atau panduan dan standard sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung mengedepankan kepentingan pribadi, suka menerobos aturan demi ambisinya, acuh terhadap performa kerja, dan lainnya. Tanda-tanda pemimpin nirnilai sesungguhnya sudah kita lihat ketika ada orang yang punya ambisi menerobos aturan agar bisa maju dalam kontestasi.
Padahal, bila kita mengutip Harry M. Jansen Kraemer, Jr., dalam buku From Values to Action (2011), pemimpin adalah agen perubahan yang tindakannya dapat berdampak pada orang lain. Dengan pengertian itu, wajar apabila banyak pakar kepemimpinan melihat pentingnya sebuah nilai atau pegangan dalam lingkup organisasi atau kelompok. Untuk itu, saat kita disuguhkan figur-figur pemimpin dari tingkat kabupaten hingga nasional, maka hal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Peran kunci seorang pemimpin adalah mengatur dan mengontrol norma kelompok. Norma kelompok itu diartikan sebagai standard yang sah dan layak sebagai acuah perilaku yang dapat dievaluasi.
Beberapa waktu ini, viral video salah seorang anggota DPR RI dan jubir salah satu paslon Presiden-Wakil Presiden 2024 yang “dikuliahi” oleh Rocky Gerung tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Sang anggota dewan tampak dikuliti bagaimana bahwa ia tidak punya pemahaman demokrasi yang baik, sehingga demokrasi di Indonesia terkesan baik-baik saja. Dengan gayanya yang khas, RG seolah tampil berhasil membuat sang anggota dewan terlihat tak berkutik.
Dari peristiwa itu, penulis melihat satu pelajaran menarik. Dalam perspektif leadership studies, penulis melihat bahwa kondisi ini menunjukkan tanda-tanda kepemimpinan nirnilai. Anggota dewan yang bersangkutan adalah salah satu contoh fenomena bagaimana kepemimpinan pada level elit di Pemerintahan tidak punya upaya untuk menegakkan nilai-nilai dalam demokrasi, sehingga demokrasi dilihat secara elektoral semata, seperti yang disinggung oleh RG.
Absennya praktek nilai-nilai demokrasi di lingkungan Pemerintahan membuat para pejabat didalamnya seperti tidak sadar bahwa mereka tengah mengalami proses kemunduran dalam demokrasi. Menurut hemat penulis, ini adalah puncak gunung es dari proses kepemimpinan nirnilai. Kepemimpinan para elit saat ini seolah tidak memperlihatkan tentang nilai-nilai yang diyakininya. Dengan begitu, seperti tidak tahu malu, rambu-rambu dalam berdemokrasi dan bernegara seringkali diterobos.
Bila didefinisikan secara sederhana, kepemimpinan nirnilai adalah gaya memimpin yang tidak mengindahkan nilai-nilai, prinsip atau etika yang menjadi landasan dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Beberapa cirinya, ia tidak punya standard atau panduan dalam memerankan kepemimpinannya, penuh konflik kepentingan, imej yang kurang baik, dan lainnya.
Ada tiga indikasi bagaimana proses kepemimpinan nirnilai itu terjadi. Pertama, absennya budaya kerja dalam roda pemerintahan. Padahal, budaya kerja di dalam organisasi pemerintahan adalah salah satu tolok ukur keberadaan nilai-nilai dan prinsip. Kedua, terjadinya kehilangan arah, sehingga setiap kebijakan dalam proses bernegara kerapkali ditabrak tanpa mengindahkan kepentingan umum, mengedepankan personal interest dalam mengambil keputusan, penuh conflict of interest, target utama yang harus disasar, dan indikator cara mengevaluasi kinerja. Ketiga, memudarnya kepercayaan publik, sehingga para elit pemimpin dianggap tidak mampu atau kapabel.
Absennya Budaya Kerja
Hal mencolok dari kepemimpinan nirnilai adalah tidak punyanya budaya kerja dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Walaupun budaya kerja bukanlah faktor paling penting dalam organisasi, tetapi para pakar dan pelaku usaha mengakui pentingnya budaya kerja. Hal itu dikarenakan budaya kerja telah membentuk karakter yang bisa berdampak pada perilaku sehari-hari anak buah dalam bekerja.
Setiap organisasi, baik berorientasi profit atau tidak, umumnya memiliki nilai-nilai yang menjadi fondasi membangun budaya kerja. Tujuannya untuk membentuk karakter dan perilaku sehari-hari yang menjadi ciri khas organisasi tersebut. Mengapa budaya kerja dianggap penting? Setidaknya, menurut John P. Kotter ada relasi kuat antara budaya kerja terhadap performa. Tak heran, bila setiap organisasi berusaha mengidentifikasi nilai-nilai, karakter dan perilaku yang ingin dibentuk, sehingga bisa menjadi budaya kerja dalam mencapai kinerja.
Ketika Jokowi naik ke kursi presiden 2014, Revolusi Mental menjadi budaya kerja. Orang pun memiliki sebuah harapan dari presiden Jokowi. Inilah sebuah kekuatan budaya kerja yang ingin dibentuk oleh Presiden Jokowi kala itu. Tetapi, hari ini kita tahu bahwa revolusi mental sekadar slogan. Indikasinya terlihat dari tidak adanya perubahan dalam budaya kerja.
Apa dampaknya jika tidak ada budaya kerja? Hal paling mencolok adalah tidak adanya landasan dalam bekerja untuk mencapai hal tertentu. Misalkan, budaya melayani kepentingan rakyat tidak berjalan baik karena seperti tidak ada nilai-nilai dalam budaya kerja yang dibangun terhadap karakter para aparatur. Absennya budaya kerja di kalangan elit ialah terlihat dari perilaku mereka yang suka menerobos peraturan seenaknya. Personal interest lebih dominan dalam setiap proses pengambilan keputusan adalah contoh lainnya kepemimpinan nirnilai.
Underperformer
Bagaimana nilai itu relate dengan performa kerja? Dalam buku Corporate Culture and Performance (1992), John P. Kotter dan James Heskett mengatakan bahwa setidaknya nilai-nilai yang menyeleraskan tujuan (goal allignment), menyamakan ritme kerja, menciptakan motivasi yang berbeda, nilai-nilai dapat mengontrol kinerja tanpa bergantung pada struktur formal. Umumnya ada dua proses. Pertama, nilai-nilai diterjemahkan ke dalam key performance indicators (KPI). Atau kedua, KPI diterjemahkan ke dalam nilai-nilai. Karena ujungnya, ini berorientasi pada pembentukan karakter dan perilaku kerja orang.
Contoh sederhana, jika ada orang yang punya nilai-nilai pentingnya kebersihan dan kerapian di meja kerja, maka orang tersebut cenderung rapi bekerja dan target-oriented. Nilai-nilai itu mencerminkan kemampuan seorang pemimpin. Ia tahu apa yang harus ditarget (what), mengapa mengejar target itu (why), dan bagaimana caranya mengejar target itu (how). Dengan begitu, ia juga tahu ukuran-ukuran target yang ingin dicapainya sehingga tidak mudah kehilangan arah atau goyah.
Perilaku mengabaikan performa kinerja merupakan contoh kepemimpinan nirnilai. Ia tidak punya pegangan mengapa harus mengejar target tertentu, apa saja yang harus dicapai, bagaimana caranya, dan mampu mengukur atau merefleksikan apakah target capaiannya telah sesuai dengan yang dijanjikan. Dengan demikian, ia tidak bisa mencapai apa yang dijanjikan saat pertama menapaki kursi kepemimpinan.
Warisan Kepemimpinan Nirnilai
Menurut Robert L. Caslen Jr. dan Michael D. Matthews, orang yang tidak memiliki nilai-nilai bisa sukses dalam memimpin. Tetapi, kesuksesan yang diraih kepemimpinan nirnilai cenderung jangka pendek. “Leaders who are competent in their field but who lack critical positive character traits such as integrity and honesty may be successful over the short run, but will ultimately fail,” tulisnya dalam The Character Edge: Leading and Winning with Integrity (2021).
Ini dikarenakan mereka kerap berpikir pintas dan cenderung self-centric untuk menghasilkan legacy. Warisan kepemimpinan nirnilai yang diwariskan cenderung pragmatis dan oportunistik. Apa yang dinilainya mudah untuk dicapai, itulah yang ia kejar. Pada akhirnya, hal-hal yang terlihat di depan mata (tangible) dan monumental yang akan dikejar. Barangkali, hal yang tangible bisa dirasakan langsung manfaatnya dan cukup efektif untuk kepentingan membangun imej. Para pemimpin di tanah air ini seolah terjebak di sini.
Janji-janji strategis seperti kemandirian atau peningkatan kualitas SDM itu kemungkinan kecil bisa ia capai. Bangunan-bangunan infrastruktur monumental adalah contoh bagaimana kepemimpinan nirnilai. Padahal, warisan terbaik seorang pemimpin adalah pada aspek manusia. Warisan kepemimpinan itu hidup pada masyarakat, anak buah, atau sosok pengganti, seperti visi, nilai-nilai, integritas, budaya kerja, dan lainnya. “A legacy live on in people, not things,” tegas John C. Maxwell dalam buku The 21 Irrefutable Laws of Leadership (2007).
Berbeda dengan mereka yang sukses memimpin dengan nilai, dapat menghasilkan suatu warisan jangka panjang. Contoh sederhananya, meskipun Gus Dur memimpin dalam jangka waktu pendek, nilai-nilai kemanusiaan yang ditegakkan dalam masa kepemimpinannya bisa menghasilkan warisan yang sampai saat ini masih dikenang oleh masyarakat. Maxwell mencontohkan warisan terbesar Mother Theressa adlh para penerusnya yg ikhlas membantu masyrakat. “She was gone, but her legacy was continuing. She had made an impact on the world, and she had developed leaders who were carrying on her vision,” ceritanya ketika berkunjung ke Mother House Kolkata. []