Membangun Corporate Culture Atau Blusukan?

  • 5 min read
  • Jan 08, 2021
Membangun Corporate Culture

Membangun corporate culture berarti inside-out. Sedangkan blusukan ialah outside-in. Lantas, mana yang lebih baik?

Sejak dilantik menjadi Menteri Sosial, Tri Rismaharini tampaknya sudah mulai beraksi dengan cara blusukan ke area-area yang dinilai banyak pemulung dan tunawisma. Blusukan ini cara lama yang pernah dipopulerkan oleh Presiden Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta atau ketika awal-awal menjadi presiden. Pertanyaannya, apakah cara ini masih ampuh untuk menciptakan iklim bekerja yang lebih baik di organisasi Pemerintahan?

Mengapa Blusukan?

Blusukan kerap dipakai oleh aparat pemerintah untuk mengecek langsung hasil dan mendapatkan feedback terkait program atau kebijakan dari masyarakat. Dari sini, aparat memperoleh masukan atau saran perbaikan, yang akan dibawa ke internal untuk didalami dan diformulasikan untuk menghasilkan output sesuai aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, saya melihat bahwa blusukan itu sebagai upaya “membawa hal-hal dari luar ke dalam” (outside-in).

Awal muncul blusukan itu sendiri memang dianggap sebagai antipati terhadap elit pemerintah yang terkesan jauh dari rakyat. Tidak dekat dan jarang komunikasi. Mereka turun ke tengah masyarakat dan mau berinteraksi ketika memnjelang gelaran pemilihan. Tetapi, setelah terpilih, waktu mereka sedikit sekali disisihkan untuk bertemu dan mendengarkan persoalan rakyat.

Jokowi mendobrak kebiasaan pejabat yang feodal ini. Ia berani turun dan mengecek langsung hasil pekerjaan di bawah: kendala, efektivitas, layanan hingga manfaat kebijakan atau program pemerintah yang diterima rakyat. Dengan ini, ia pun sukses besar mendulang dukungan rakyat hingga menjadi presiden. Dalam bukunya Man of Contradictions (2020), Ben Bland menemukan bahwa dengan blusukan, Jokowi mampu menggalang dua kekuatan sekaligus yaitu di level elit dan bawah.

Membangun Corporate Culture

Umumnya, ada dua persoalan yang biasa dihadapi oleh organisasi pemerintahan yaitu corporate governance dan corporate culture. Corporate governance dirancang untuk memiliki sistem yang kuat, sehingga tata kelolanya kredibel, transparan dan profesional. Sedangkan corporate culture atau budaya organisasi adalah elemen soft-aspect untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompetitif. Oleh karena itu saya menyebut corporate culture itu sebagai inside-out, yakni “apa yang dari dalam dan dibawa ke luar” (konsumen, mitra, pemangku kepentingan).

Culture is something you do… And it’s one of the most powerful forces on the planet.

Daniel Coyle, The Culture Code (2017)

Di sisi lain, tugas yang tak kalah penting dari seorang pemimpin adalah membangun corporate culture. Secara sederhana, corporate culture tercermin dari cara yang kita kerjakan. Sederhananya, Google sebagai perusahaan raksasa memiliki corporate culture bahwa inovasi lahir dari eksperimentasi. Suasana kantor menjadi kasual, fun dan fleksibel agar karyawan lebih kreatif sehingga melahirkan keberanian untuk berinovasi dan eksperimen.

Pertanyaannya, apakah membangun corporate culture itu penting?

Ya, itu penting. Bagi sebagian pakar kepemimpinan, membangun corporate culture adalah long-term investment yang dirancang untuk menghasilkan sumber daya manusia sebagai aset institusi, sehingga dinilai lebih sustainable dan kompetitif. Hasilnya bisa kita petik dari performa kinerja karyawan. Mereka yang memiliki corporate culture cenderung akan mempunyai sumber daya manusia yang spirit kerjanya sesuai landasan atau nilai-nilai dan berdampak pada performa. Saya menemukan ada tiga alasan mengapa membangun corporate culture itu penting bagi institusi pemerintahan.

#1 Menciptakan Budaya Kerja

Dalam whitepaper-nya, Kathering Barrow mengilustrasikan apa saja elemen corporate culture. Ada empat layer yaitu assumptions, values, norms dan artifacts. Adanya empat elemen ini diharapkan usaha membangun corporate culture ini lebih sistematis, mudah dipahami dan dieksekusi dalam keseharian.

Membangun Corporate Culture
Elemen Budaya Organisasi

Pertama, assumsptions adalah fondasi dari budaya organisasi. Ia merupakan hal-hal yang sifatnya visi, keyakinan atau landasan yang harus dimiliki oleh setiap orang di dalam organisasi untuk berperilaku atau menangani permasalahan. Bila mengutip buku Simon Sinek Start with Why (2011), secara sederhana, saya mengartikannya seperti “why” atau reason for being (alasan keberadaannya).

Kedua, values adalah nilai-nilai yang dianggap penting untuk dimiliki oleh people. Tidak sekadar jargon di dalam artwork perkantoran atau anjuran saat pidato, nilai-nilai diinternalisasi melalui perilaku sehari-hari dalam bekerja. Tugas seorang pemimpin adalah mencontohkan bagaimana nilai-nilai itu bekerja secara nyata. Dengan begitu, bawahan pun akan mengikuti, sehingga diharapkan bisa membudaya.

Ketiga, norms adalah upaya menerjemahkan nilai-nilai menjadi aturan yang dapat memandu setiap orang bagaimana harusnya bersikap. Norma ini umumnya bersifat formalitas, sehingga bisa tercermin dalam pakta integritas, SOP kerja, service blueprint, atau peraturan perusahaan. Dengan adanya norma ini maka upaya membangun corporate culture bisa dijalankan secara baik.

Terakhir, artifacts adalah aspek tangible berupa simbol atau logo, personal grooming, ornamen di kantor, tampilan template power point, dan sebagainya. Adanya artefak ini diharapkan setiap orang dapat menginternalisasinya dengan lebih mudah. Dengan demikian, upaya membangun corporate culture pun lebih cepat. Jika kita melihat ornamen dan grooming bekerja di startup digital akan terlihat betapa egaliter dan kasualnya.

#2 Mesin Kepemimpinan

Salah satu aspek penting untuk menciptakan daya saing institusi atau korporat adalah menciptakan mesin kepemimpinan (leadership engine) yang memproduksi calon-calon pemimpin baru di berbagai level dan divisi. Dengan begitu, mereka tidak akan kekurangan stok pemimpin ideal saat terjadi suksesi. Dan, corporate culture merupakan cara untuk menciptakan iklim mesin kepemimpinan di dalam sebuah organisasi. Mengapa?

Mayoritas institusi yang peduli dengan corporate culture, otomatis mereka peduli dengan sumber daya manusia. Mereka dianggap sebagai aset penting yang akan mencerminkan budaya institusi. Apa yang mereka lakukan, itulah cerminan dari institusi tersebut. Untuk itu, mereka sangat concern untuk menanamkan nilai-nilai budaya perusahaan ke dalam perilaku dan kinerja karyawan.

Dengan demikian, organisasi yang peduli terhadap corporate culture akan selalu berusaha untuk menciptakan sumber daya manusia yang sesuai karakter organisasinya. Agar nilai-nilai perusahaan bisa membudaya (culturing) hingga menghasilkan perilaku dan spirit bekerja ideal, setiap organisasi akan berjuang untuk mencetak orang-orang terbaik. Dengan cara ini, mereka akan menjadi wakil, represent atau juru bicara organisasi tersebut.

Untuk institusi pemerintahan, memang pucuk pimpinan kerap kali bukan berasal dari sumber daya internal, melainkan produk politik (hasil pemilihan). Apabila terjadi perubahan kepemimpinan, barangkali ini yang menyulitkan untuk allignment.

Gaya pemimpin yang lebih suka blusukan daripada membereskan di internal dan membangun corporate culture akan mengalami kesulitan untuk menciptakan mesin kepemimpinan. Salah satu bukti berjalannya mesin kepemimpinan adalah adanya delegasi. Dengan kuatnya delegasi kepemimpinan akan mendorong sehatnya iklim mesin kepemimpinan.

#3 Mencapai Target

Sesungguhnya, corporate culture dapat dirancang sebagai upaya untuk mencapai target, baik sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam bukunya Corporate Culture & Performance (1992), John Kotter menemukan bahwa terdapat korelasi antara strong culture dengan performa. Ia melakukan survei pemetaan dalam sebuah matriks dengan dua variabel yaitu culture dan market growth. Dari sini terlihat banyak perusahaan performanya di atas rata-rata perusahaan yang tidak punya culture.

Mengapa ia bisa mendorong performa? Ketika institusi memiliki culture, ia mencerminkan visi-misi atau target yang akan dicapai dan diimplementasikan ke dalam perilaku sehari-hari. Ibarat orkestra, semua orang harus memainkan peran untuk mencapai irama yang diinginkan.

Saya sendiri memiliki pengalaman langsung menyaksikan bagaimana corporate culture ini mendorong performa saat menangani pekerjaan training atau penulisan buku di Telkom saat kepemimpinan Arief Yahya sejak Direktur Enterprise & Wholesale (2012) maupun saat menjabat Dirut (2012-2014). Telkom sendiri memang punya sejarah panjang bagaimana corporate culture ini mulai diadopsi sejak masa kepemimpinan Cacuk Sudarijanto yang people-oriented.

Di tengah gonjang-ganjing ancaman digital disruption hingga kompetisi pasar, adanya corporate culture The Telkom Way membuat Telkom relatif kokoh. Misalnya, dengan corporate culture, Telkom relatif bisa mengambil peluang dalam persaingan dengan startup maupun sesama inkumben di sektor telekomunikasi. Apabila tidak ada corporate culture, barangkali seluruh sumber daya Telkom tidak akan memiliki spirit bekerja yang sesuai dengan karakternya untuk mencapai target revenue.

Dan corporate culture The Telkom Way ini dibawa oleh Arief Yahya ke Kementerian Pariwisata saat ia menjabat sebagai menteri di sana. Pak AY, demikian banyak orang menyebutnya, memiliki fokus untuk pengembangan sumber daya manusia, sehingga punya spirit bekerja sesuai dengan nilai-nilai. Meskipun tak sedikit yang mungkin resisten, tetapi selama masa kepemimpinannya, Arief Yahya mampu bersinergi.

Oleh karena itu, tidaklah ada salahnya apabila seorang pemimpin di lembaga pemerintahan untuk membangun corporate culture. Adanya corporate culture ini diharapkan bisa membangun spirit bekerja sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik.

Sumber foto: HRO Partners

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *