Brand Dalam Pusaran Social Movement

  • 3 min read
  • Mar 30, 2020

Dulu, banyak orang melihat bahwa brand itu selfish alias memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli terhadap konsumen. Konsumen kerap dipandang “eksploitatif” demi keperluan penjualan semata. Sehingga, brand kerap dilihat bukanlah solusi pemecahan berbagai persoalan sosial. Masyarakat banyak berharap pada negara untuk menyelesaikan social problem.

Tetapi, itu dulu….

Kini, seiring dengan persoalan-persoalan sosial dan lingkungan yang tak kunjung terpecahkan serta upaya menemukan bentuk baru model bisnis yang pas, brand pun berubah haluan. Mereka mulai mempertimbangkan aspirasi komunitas masyarakat, konsumen, karyawan dan pemangku hajat lainnya. Bahkan, dalam riset berjudul (2018), Edelman menemukan bahwa tingkat kepercayaan terhadap brand melebihi dari Pemerintah dalam penyelesaian persoalan sosial.

Oleh karena itu, social movement yang identik dengan non-government organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), kini mulai melekat dengan brand. Strategi pemasaran pun banyak yang awalnya konvensional (one way dan sekadar menawarkan fitur produk serta keunggulan harga), kini brand owner melakukan komunikasi pemasaran social movement (bukan sekadar lagi fitur dan harga, melainkan menawarkan perubahan, keberpihakan atau keinginan menyelesaikan persoalan sosial). Seiring munculnya tren ini, ada agensi yang spesialis dalam mengembangkan strategi pemasaran social movement seperti StrawberryFrog milik Scott Goodson penulis buku Uprising: How to Build A Brand and Change the World (2012).

Dengan melihat dinamika kehidupan sosial masyarakat Indonesia, ini bisa menjadi peluang bagi brand yang tertarik untuk masuk dalam pusaran social movement. Adanya bencana, wabah dan masih maraknya ketidaksetaraan sosial adalah momentum bagi brand untuk memosisikan dirinya sebagai aktor dalam social movement.

Mengapa brand perlu masuk dalam pusaran social movement? Sebab, ini menjadi preferensi baru di mata konsumen…

Dalam sebuah risetnya, agensi periklanan terkenal Edelman menemukan bahwa “beberpihakan” menjadi telah preferensi baru di mata konsumen. Artinya, keberpihakan menjadi salah satu faktor pendorong atau alasan kenapa konsumen harus membeli (reason to buy). Apabila dahulu, orang banyak lebih mempertimbangkan aspek fitur produk, harga dan nilai emosional (self-expression). Kini, berdasarkan data yang dikeluarkan Edelman, purchase intent konsumen mulai banyak mempertimbangkan sikap brand, tidak hanya fitur produk. Maka, tak heran apabila di seluruh dunia, terjadi kenaikan tren belief-driven buyer. Dan, kenaikan ini secara rata-rata mencapai 13% dari tahun 2017 ke 2018.

Sumber: https://bit.ly/2VaX9qP

Mengapa keberpihakan brand menjadi preferensi baru? Menurut saya, faktor pemicunya adalah perubahan perilaku konsumen, khususnya kalangan anak muda. Di tengah-tengah perkembangan teknologi dan keberlimpahan sumber daya, mereka masih menemukan kemiskinan, ketimpangan sosial, politisi yang tidak dapat dipercaya dalam mengelola roda Pemerintahan, kerusakan lingkungan, perdagangan yang tidak fair, dan banyak kasus lainnya. Inilah yang mendorong mereka memiliki kesadaran sosial (social consciousness), sehingga muncul rasa kepedulian, ingin berbagi, aksi, kolaborasi, dan penghimpunan dana. Penggalangan dana melalui crowdfunding platform ataupun media sosial menjadi bukti aksi mereka untuk kepedulian konsumen saat ini.

Untuk itu, kesadaran sosial ini yang menurut saya, secara pelan-pelan akan menuntut brand berperan dalam persoalan sosial untuk berkontribusi (social contribution). Apalagi, hasil riset Edelman menemukan bahwa kepercayaan mereka terhadap brand lebih tinggi daripada negara untuk menyelesaikan persoalan sosial. Untuk itu, brand yang memiliki keberpihakan akan dilihat memiliki nilai lebih. Sedangkan, brand yang sekadar mengandalkan keunggulan fitur produk dan promosi keunggulan atau tidak memiliki misi penyelesaian sosial akan dipandang biasa-biasa saja. Dari sisi engagement, brand yang punya sikap akan menciptakan kedekatan kuat dengan target pelanggan. Kedekatan ini yang kemungkinan besar dapat mendorong loyalitas dan bahkan berpihak (advocate). Sebaliknya, brand yang tidak punya keberpihakan akan menciptakan kedekatan dan loyalitas berdasarkan transaksional semata.

Buy or boycott…

Ketika brand memutuskan untuk arus dalam social movement, ini akan menjadi buah simalakama: dibeli atau diboikot. Sebagaimana temuan hasil riset Edelman bahwa 57% akan membeli atau boikot karena keberpihakannya. Tetapi, bagi konsumen yang memiliki sikap (belief-driven buyers), 65% dari mereka tidak akan membeli jika brand memilih diam atau pasif terhadap isu tertentu, padahal brand dinilai berkewajiban untuk menyelesaikannya.

One for one business model juga yang mengakselerasi social movement di brand…

Ya, semangat kontribusi sosial yang dituangkan ke dalam model bisnis one for one menjadi tren baru di kalangan pemain startup. Model bisnis ini disukai karena memberikan dua benefit sekaligus: fungsional dan sosial. Dari sisi konsumsi, mereka mendapatkan manfaat langsung yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan personal. Dan secara bersamaan, ia telah berkontribusi kepada masyarakat karena turut berdonasi dari model bisnis yang beroperasi. Contoh paling terkenal ialah TOMS Shoes. Setiap konsumennya akan mendapatkan dua pasang sepatu: sepasang untuk digunakan sendiri dan sepasang sisanya untuk anak-anak miskin di Argentina.

Brand
Sumber: https://bit.ly/347vDhZ

Setelah TOMS Shoes sukses, banyak brand mengikuti jejaknya…

Sebagaimana telah ditulis oleh Christopher Marquis & Andrew Park, Inside the Buy-One Give-One Model (2014) bahwa sejak TOMS Shoes berhasil dengan model bisnisnya, ini diikuti oleh pemain startup lainnya. Warby Parker (kacamata), KNO Clothing (pakaian), Out of Print (T-shirt), Baby Teresa (pakaian bayi), 1 for 1 Water (makanan-minuman), Smile Squared (sikat gigi), CommonBond (jasa keuangan), dan Soapbox Soaps (barang-barang kebutuhan rumah tangga) merupakan beberapa contoh brand yang model bisnisnya untuk menyelesaikan persoalan sosial. Strategi ini dinilai berhasil untuk menggaet pelanggan baru, menciptakan komunikasi yang efektif dan berkelanjutan.

Related Post :

One thought on “Brand Dalam Pusaran Social Movement

  1. Pingback: Societal Benefit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *