3 Pemicu Mengapa Merek Wardah Layak Menjadi Iconic Brand?

  • 4 min read
  • Dec 11, 2020
Merek Wardah

Pemicu kesuseksan merek Wardah di antaranya adalah kuatnya cultural branding di tengah bangkitnya budaya populer Islam dan hijabers.

Pada 2004, seorang profesor Harvard Business School menerbitkan buku How Brands Become Icons? yang berisi ulasan branding dengan cara menarik. Douglas Hotl, demikian profesor itu, melihat bahwa selama ini tidak banyak pakar yang melihat branding sebagai bagaian dari culturing. Mayoritas pakar melihat dari sisi strategi. Dengan kajian sosial-historis yang kuat, Douglas Holt melihat bahwa ada fenomena di mana sebuah brand menjadi iconic.

Secara sederhana, iconic diartikan sebagai brand yang mengusung ideologi sehingga bisa mendobrak pakem lama dan menjadi representasi pada generasi tertentu. Contohnya adalah bagaimana Marlboro menjadi representasi generasi Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Merek rokok itu ditampilkan untuk kelas pekerja yang macho di pedesaan dengan cultural code seorang koboi. Di tengah industrialisasi yang sedang gencar di Amerika, Marlboro justeru mendobrak pakem itu dengan menampilkan alam liar seorang koboi. Dengan personifikasi ini memberi kesan bahwa perokok Marlboro adalah pekerja keras, suka kebebasan dan mandiri.

Lalu, bagaimana dengan merek Wardah?

Melihat perkembangannya, Wardah merupakan salah satu merek yang dipertimbangkan menjadi salah satu icon brand di tanah air. Selain dikenal sebegai pionir kosmetik halal pertama, merek Wardah ini juga sangat populer di kalangan segmen muslim (women, more religious, youth, open-mind, creative, confident, & high buying power). Ia banyak digunakan di kalangan hijabers, dan populer di masyarakat pada umumnya. Ia sering diasosiasikan merek kosmetik muslim kekinian. Dengan demikian, di tengah gelombang naiknya segmen muslim, Wardah tak bisa bisa dilepaskan peranannya.

Merek Wardah merupakan salah satu kosmetik yang nilai ekuitasnya bisa disamakan sebagai iconic brand, di mana suatu merek dianggap sebagai icon-nya generasi tertentu. Contoh iconic brand itu seperti Nike atau Compass. Dahulu, mungkin kita mengenal iconic brand seperti Nike. Sekarang, Compass mungkin bisa jadi iconic brand di tengah-tengah bangkitnya sneaker culture di tanah air.

Di antara produk kosmetik halal, merek Wardah telah menjadi iconic brand di mata kelas menengah muslim muda. Di samping sebagai pionir, proses pembentukan iconic brand Wardah terjadi seiring dengan kian membaurnya Islam dengan pop culture dan bangkitnya kelas menengah muslim.

Kemudian, faktor apa saja yang membuat merek Wardah menjadi iconic brand? Bila kita mengutip buku Douglas Holt, Cultural Strategy (2010), saya melihat ada beberapa faktor yang membuat merek Wardah menjadi ikonik? Saya melihat ada tiga faktor yang memungkinkan Wardah menjadi merek yang ikonik. Apa saja itu?

#1 Bangkitnya Islamic Pop Culture

Kuatnya asosiasi Islam politik di tanah air mendorong sejumlah cendikiawan untuk mempopulerkan Islam kultural. Perbedaannya, jika Islam politik berorientasi pada upaya pengambilalihan kekuasaan Pemerintahan melalui organisasi politik (struktural), sedangkan Islam kultural ialah ikhtiar mengampanyekan nilai-nilai keagamaan secara inklusif melalui saluran budaya pop modern seperti film, musik rock atau pop, digital, fashion, pendidikan umum, novel, dan lainnya. Tokoh yang terkenal untuk mempolerkan Islam kultural ini adalah Cak Nur, dan ia dikenal dengan slogannya “Islam yes, partai Islam no.”

Merek Wardah
Musik Religi Ala Rocker. Sumber di sini.

Hasilnya, Islam kultural pun diterima dan membaur di tengah budaya populer masyarakat. Akhirnya, Islam pun menjadi bagian budaya massa yang mudah diterima. Inilah yang banyak disebut pakar sebagai Islamic pop culture. Orang pun melihat Islam pun menjadi lebih inklusif, modern, dan keren. Inilah yang menurut Douglas Holt sebagai social disruption: mendisrupsi tatanan lama dengan the new order, sehingga me.

Merek Wardah hadir di tengah kebangkitan budaya massa Islam populer di tanah air. Merek ini dirintis pada 1995 oleh Nurhayati Subakat dengan tujuan menggarap pasar segmen muslim, yang ketika itu belumlah sadar akan kosmetik halal dan daya beli yang relatif rendah. Seiring menguatnya Islamic pop culture melalui musik, film, novel, fashion, Wardah turut menunggangi gelombang ini (riding the wave), sehingga ia populer di muslim.

#2 Berkembangnya Halal Lifestyle

Halal lifestyle adalah gaya hidup yang dipicu oleh hukum halal. Bagi umat Islam, hukum ini wajib untuk ditaati, dan berdosa bila tidak mengindahkannya. Gaya hidup ini kini tidak hanya memicu industri makanan-minuman semata, melainkan juga hospitality, kosmetik, farmasi, fesyen, hingga elektronik. Tentu, Anda ingat bagaimana dulu Zoya dan Sharp ketika kedua merek ini mendapatkan sertifikasi halal dari MUI? Meskipun responsnya menuai pro-kontra, tetapi tampaknya kedua produk ini sukses masuk dalam pilihan segmen muslim.

Memang, mau tidak mau, halal menjadi driver dalam bisnis ke depan. Pemerintah sendiri, sejak enam tahun telah menetapkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mewajibkan seluruh produk harus bersertifikasi halal. Banyak sektor industri diatur dalam UU JPH ini. Kesadaran tentang gaya hidup halal semakin meningkat dan kian meluas spektrumnya. Adanya kesadaran gaya hidup kemungkinan besar dipicu oleh keinginan untuk mengaplikasikan nilai-nilai kehidupan agama dalam keseharian.

Akan tetapi, jauh sebelum adanya UU ini, merek Wardah telah menjadi salah satu produk kosmetik halal pionir. Ketika kesadaran halal pada industri kosmetik belum sepenuhnya kuat, Wardah telah mengedukasi konsumen. Berbekal kesadaran ekspresi keislaman yang menguat serta keinginan untuk mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan, ini membuat produk yang DNA-nya halal bisa diterima dengan luas.

Kini, di saat para pemain kosmetik lain berusaha memposisikan halal ataupun muslim-friendly (setidaknya terlihat dari representasi bintang iklan berhijab yang muncul), merek Wardah sudah established di posisinya. Meskipun tetap mengeluarkan kampanye #HalaldariAwal, segmen muslim tetap akan mengingat Wardah sebagai pelopor.

#3 Hijabers Boom

Hijabers boom bisa ditelusuri sejak 1990-an, di mana banyak perempuan muslim yang mulai beralih ke fashion muslim. Awalnya, fashion muslim dibatasi oleh penguasa kala itu, tetapi sejak populernya revolusi Iran dan masifnya gerakan mahasiswa yang berkerudung. Lalu, menguatnya Islamic pop culture, muncullah hijabers revolution yang ditandai dengan hadirnya komunitas hijabers.

Merek Wardah
Hijabers Lifestyle. Sumber di sini.

Sebelum muncul istilah hijab, masyarakat di tanah air lebih familiar dengan istilah kerudung atau jilbab. Tetapi, sejak tahun 2010-an, kata hijab mulai menggantikan istilah jilbab. Kata ini dipilih oleh komunitas anak muda yang menganggap pentingnya nilai-nilai relijiusitas dalam konsumsi sehari-hari, confident, kreatif, berwawasan dan well-educated, melek digital, punya daya beli tinggi, dan suka berbagi.

Sebagai penanda gantinya imej jilbab dengan hijab ini, penggunaan kerudung pun terlihat demikian modis. Apabila jilbab identik dengan tampilan kerudung kota dan single color, maka di dalam hijab, seperti ditulis dalam buku GenM (2017) bahwa anak-anak muda itu tampil lebih kreatif dan percaya diri: colorful, stylish dan fashionable. Selain itu, istilah hijab yang familiar digunakan di level global, digunakan di tanah air seolah-olah menandakan keinginan terhubung dengan globalisasi. Sementara kata jilbab, sepertinya hanya populer di tanah air.

Merek Wardah sendiri populer di tengah terjadinya hijabers boom pada tahun 2010-an, bertepatan tidak lama setelah brand rejuvenation. Kaum hijabers ini menjadi cultural code merek Wardah yang melekat dengan merek hijabers, untuk urusan kosmetik.

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *