3 Kontradiksi Kepemimpinan Jokowi

  • 4 min read
  • Nov 14, 2020

Setelah enam tahun menjadi presiden, kita mulai menemukan kontradiksi kepemimpinan Jokowi di sejumlah hal. Man of Contradictions menceritakannya dengan ringkas dan menarik.

Setelah membaca buku Man of Contradictions, saya menjadi mafhum mengapa Pak Jokowi bersikukuh kegiatan ekonomi tetap berjalan meskipun pandemi belum terkendali. Menurut Ben Bland, salah satu cara melihat gaya kepemimpinan Jokowi adalah tidak melupakan latar belakangnya sebagai pengusaha (pembuat furnitur). Menurut Ben, kebutuhan akan listrik, jalan, pelabuhan, peraturan yang memudahkan perizinan adalah contoh kebijakan yang lebih mencerminkan untuk mendorong kegiatan ekonomi.

“There are few global leaders who have risen from obscurity as rapidly as Jokowi. In just nine years, he went from small-town businessman to president of the world’s fourth most populous nation. It was an incredible turnaround for a simple boy from a simple family, in a country where politics has long been dominated by dynasties, tycoons, and the military,” tulis Ben Bland.

Ini juga tak mengherankan apabila saat ini Pemerintah ngotot untuk membeli vaksin dari luar negeri, meskipun beberapa pakar tidak menyarankan. Pasalnya, belum ada vaksin yang benar-benar sudah dinyatakan efektif untuk memperkuat imunitas terhadap Covid-19. Dengan menggunakan emergency use authorizations, tampaknya Pemerintahan Presiden Jokowi ingin semua aktivitas ekonomi pulih. Sebagai pengusaha, barangkali ia merasakan bagaimana mempertahankan bisnis di tengah krisis dan kesulitan bergerak karena dibatasi dengan alasan pandemi.

kontradiksi kepemimpinan Jokowi
Man of Contradictions

Pertanyaannya, lalu bagaimana praktek kontradiksi kepemimpinan Jokowi seperti diceritakan buku Ben Bland ini? Saat kita memegang buku ini pun kita sudah bisa menyimpulkan kontradiksi yang dihadapkan oleh Jokowi pada sampul luarnya. Jokowi digambarkan secara simetris yang bersebelahan. Secara tersirat, sampul buku ini sudah menyampaikan visualisasi tentang kontradiksi kepemimpinan Jokowi.

#1 Rakyat atau Pengusaha?

Kontradiksi kepemimpinan Jokowi pertama yang terlihat mencolok ialah dalam soal keberpihakan: bagaimana kebijakan yang disusun dan ditujukan untuk siapa? Yang paling mencolok dari kepemimpinan Presiden Jokowi ini adalah membela pengusaha. Contoh bentuk kontradiksi lain dari Presiden Jokowi ialah kebijakan pembangunan infrastruktur. Menurut Ben Bland, jalan yang dibangun, pengadaan listrik, pelabuhan, bandara, dan lainnya, merupakan bagian dari cara untuk memudahkan bisnis.

Hadirnya buku ini seolah menegaskan bahwa inilah yang menggambarkan tentang kontradiksi di dalam pentas kepemimpinan nasional. Meskipun buku ini bercerita tentang kontradiksi kepemimpinan Jokowi, tetapi menurut saya ini tidak hanya tentang Jokowi. Ada banyak pemimpin level nasional yang juga menampilkan karakter kepemimpinan yang kontradiktif antara pernyataan dan kenyataan. Dengan demikian, kehadiran buku ini telah membuka tabir kontradiksi kepemimpinan yang diperlihatkan.

Oleh karena itu, Bland melihat gaya kepemimpinan Presiden Jokowi lebih menyerupai developementalis yang identik dengan Soeharto daripada Soekarnois (partai pengusungnya yaitu PDI-P dianggap sebagai partai yang ideologinya dekat dengan Soekarno).

Contoh terbaru ialah ngototnya diberlakukan Undang-Undang Omnibus Law dalam waktu yang cepat. UU ini diharapkan menjadi bagian dari strategi recovery ekonomi. Sayangnya, banyak kritik yang dilontarkan bahwa UU ini terlalu berpihak pada pengusaha.

#2 Kontradiksi Kepemimpinan Jokowi: Blusukan

Jokowi kerap mengatakan bahwa untuk memecahkan masalah negara harus turun langsung, mendengarkan aspirasi masyarakat dan membuat solusi pemecahan. Meskipun ini berasal dari bahasa Jawa, tetapi blusukan menjadi sangat populer di media massa. Dengan demikian, asosiasi merakyat yang diperoleh Jokowi berasal dari kerja-kerja blusukan.

Tetapi, Ben Bland menemukan bahwa blusukan bukanlah sekadar turun ke bawah, melainkan cara Jokowi untuk menggaet hati masyarakat dan kaum elit (pemimpin partai atau pemilik usaha) secara bersamaan. Ia menyebutnya dengan istilah “going to the ground to reach the top”. Seperti yang ditemukan oleh Ben bahwa kegiatan blusukan Jokowi terjadi sebagai upaya retail politics. Semakin banyak ketemu masyarakat, semakin banyak yang menjadi prospek voters (pelanggan) dan menaikknya bargaining power di mata kaum elit. Ini sebagai kontradiksi kepemimpinan Jokowi yang kedua.

Tak hanya itu, dengan metode blusukan, ia pun dengan mudah menggaet media massa untuk mengekspose apa yang dilakukannya. Tak heran bila awal-awal kemunculan Jokowi di panggung politik Jakarta dan nasional selalu menjadi pemberitaan media massa. “By ‘going to the ground’, Jokowi would become a national phenomenon and rapidly find his way to the apex of Indonesian politics. Later, in Jakarta, he would be trailed on his spot checks by hundreds of local and international journalists,” tulis Ben Bland.

#3 Dinasti Politik dan Demokratis atau Otoriter?

Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi merupakan harapan baru di mata masyarakat. Ia bukanlah bagian dari kaum elit dan tidak punya beban “dosa sejarah” (original sin). Kehidupannya seperti rakyat biasa dan ia punya visi untuk tidak sebagaimana elit lainnya yakni tidak akan membangun dinasti politik.

Tetapi, harapan itu menjadi pepesan kosong, karena sejak akhir 2019, Jokowi akhirnya membiarkan sang anak dan menantu melenggang menjadi kandidat di Pilkada daerah masing-masing. Sang anak di Kota Solo dan menantu di Kota Medan. Diselenggarakannya Pilkada serentak menjadi keinginan kuat agar sang anak menjadi elit di daerahnya. Ini merupakan bentuk kontradiksi kepemimpinan Jokowi dari sisi dinasti politik.

“In the broad context of Indonesia’s post-independence history, it would be more surprising if Jokowi did not look to build a dynasty. Five out of Indonesia’s six other presidents have offspring who followed them into politics, the only exception being BJ Habibie, a technocratic Suharto-era minister who was appointed as interim president when Suharto was ousted in 1998,” tulis Ben Bland.

Di sisi lain, dalam hal Pemerintahan, Jokowi juga dinilai mulai memperlihatkan otoritarianisme. Hal paling terlihat ialah banyaknya purnawirawan militer yang berada di sekitar Pemerintahannya. Secara tidak langsung, mereka yang mempengaruhi jalannya otoritarianisme. Bagi kalangan aktivis yang mendukungnya dulu, ini merupakan bentuk kontradiksi kepemimpinan Jokowi lainnya.

“In time, Indonesians and outsiders would come to see Jokowi as many different things: an economic liberal, a political reformer, a defender of pluralism and, eventually, a neoauthoritarian,” tulis Ben Bland.

Hal yang mencolok adalah dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia pada 2017. Lalu, baru-baru ini, seringkali terjadi kasus penangkapan aktivis tanpa proses pengadilan. Ambil alih kepemilikan tanah yang merugikan rakyat karena atas nama pembangunan infrastruktur. Dengan demikian, banyak kalangan yang menilai bahwa meskipun Jokowi merupakan dari kalangan sipil, tetapi cara menjalankan Pemerintahannya tak ubahnya Orde Baru. Adanya kontradiksi kepemimpinan Jokowi yang terlihat otoriter membuat masyarakat sudah mulai luntur kepercayaannya.

Sebenarnya, apabila kamu membaca buku Man of Contradictions ini, kita akan menemukan kontradiksi kepemimpinan Jokowi lainnya. Terlepas dari kritiknya yang menilai kekurangannya seperti tulisan Marcus Mietzner, setelah membaca buku Man of Contradictions karya Ben Bland ini, kita terbantu dalam memahami gaya kepemimpinan Jokowi saat ini dan ke depan. Bagi kamu pecinta biografi politik, buku ini layak untuk dibaca. Dengan paparan yang ringkas, bobot buku ini tetap menarik untuk dibaca.

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *