Melihat Sisi Seni Kepemimpinan Gus Dur yang Belum Banyak Dibahas: Nahkoda Perubahan

  • 4 min read
  • Sep 14, 2025

Pada akhir Agustus lalu, penulis menerbitkan buku baru berjudul “Gus Dur Nahkoda Perubahan” (2025). Buku ini mengupas seni kepemimpinan Gus Dur, yang menghasilkan perubahan signifikan saat menjadi Presiden RI dalam kurun kurang dari 2 tahun. Dengan pendekatan teori manajemen kepemimpinan yang belum pernah dibahas penulis lain, buku ini berhasil mengungkap karakteristik leadership style Gus Dur.

Awal mula penulisan buku ini berasal dari keprihatinan penulis tentang kepemimpinan nirnilai (lack of values) sejak 2024 lalu. Gus Dur adalah figur yang saat menjabat mengedepankan nilai-nilai sebagai landasan kepemimpinannya.

Melihat situasi demikian, penulis melihat pentingnya berkaca pada para pemimpin yang punya komitmen menegakkan nilai-nilai dalam politik. Gus Dur adalah satu contoh pemimpin di Indonesia yang praktek kepemimpinannya diwarnai dengan penegakkan nilai-nilai. Ia sendiri menyebutnya politik moral, yakni “orientasi politik itu harus menegakkan keadilan, baik sosial, politik, ekonomi maupun hukum dalam bentuknya yang paling konkret,” ujar Gus Dur dalam sebuah wawancara di Prisma (1995).

Walaupun masa pemerintahannya itu pendek dan memiliki keterbatasan fisik-operasional, tetapi Gus Dur bisa membawa Indonesia keluar dari ancaman disintegrasi, bangkit dari krisis, dan mengubah warna kepemimpinan di tanah air. Contohnya, ia berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi dengan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari -3% ke 4,8% dengan menaikkan daya beli masyarakat, mengurangi hutang negara, memperkecil indeks kesenjangan, dan lainnya. Bahkan, Rhenald Kasali menyimpulkan bahwa dalam dua tahun, Gus Dur mampu menghasilkan sepuluh perubahan.

Karena itulah, penulis menyebutnya sebagai Gus Dur Nahkoda Perubahan. Gaya kepemimpinan Gus Dur itu laiknya seorang nahkoda. Menunjukkan arah yang harus dituju dengan kompas nilai-nilai yang diyakini walaupun harus menerjang badai.

Ketika memimpin, Gus Dur mengelola tim kabinetnya ibarat tim sepakbola. Dengan winning spirit yang kokoh, Gus Dur menerapkan permainan bertempo tinggi, high pressure, berbagai strategi apapun diterapkan, dan tak peduli gonta-ganti pemain untuk cepat membalikkan keadaan demi mencapai kemenangan.

Dalam memecahkan persoalan, Gus Dur bertindak seperti kiai kampung di Jawa, kata Ulil Abshar-Abdalla. Berangkat dari persoalan konkret sehari-hari di masyarakat, yang harus dipecahkan secara pragmatis, taktis, fleksibel, sat-set, dan simpel.

Buku ini menceritakan tentang seni kepemimpinan Gus Dur saat menjadi presiden. Ada 9 elemen praktek seni kepemimpinan yang menjadi kekhasannya. Ke-9 inilah yang membuat Gus Dur mampu membawa banyak perubahan di Indonesia dalam waktu relatif singkat.

9 Elemen Gus Dur Nahkoda Perubahan

Pertama, kepemimpinan berdasarkan nilai atau para pakar menyebutnya sebagai values-driven leadership. Bagaimana nilai-nilai yang diyakini dan dinternalisasi oleh Gus Dur menghasilkan capaian kinerja luar biasa.

Disinilah letak pentingnya nilai-nilai menjadi standard, ukuran, landasan dan kompas dalam praktek kepemimpinannya. Ini terkonfirmasi dari studi John P. Kotter & James L. Heskett dalam Corporate Culture and Performance (1992), bahwa nilai-nilai bisa menghasilkan budaya kerja luar biasa dan pembeda seorang pemimpin dengan lainnya.

Kedua, kepemimpinan berorientasikan pada hasil (results-oriented). Gus Dur yang berpenampilan terlihat santai dan suka humor, nyatanya ia adalah tipe pemimpin yang punya greget untuk menghasilkan perubahan. Tidak mungkin dalam waktu pendek ia berhasil membubuhkan prestasi hebat tanpa drive untuk menghasilkan performa.

Bila mengutip Daniel H. Pink dalam buku Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us (2011), Gus Dur seolah punya daya dorong yang menghasilkan motivasi dari dalam (internal desires) untuk menghasilkan kinerja luar biasa. Pencapaian kinerja ekonomi di masa Gus Dur sangat impresif: menggenjot pertumbuhan ekonomi dari -3% ke 4,8% dengan mendongkrak daya beli masyarakat, tanpa menambah beban hutang negara (bahkan berkurang), dan menurunkan indeks kesenjangan (gini ratio).

Ketiga, ketajaman dan kejelian Gus Dur dalam menghasilkan kebijakan atau rigorous. Meskipun penglihatannya sudah tidak normal, nyatanya Gus Dur bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan terobosan. Ketajaman Gus Dur ini dibentuk oleh tiga hal yakni kemampuan analitis (analytics), merefleksikan keadaan (reflective), dan berpikir jauh ke depan (futuristics).

Keempat, kepemimpinan yang memiliki daya juang untuk mendorong perubahan. Ini kami sebut sebagai relentless. Walaupun kondisi fisik Gus Dur sudah tidak 100% normal akibat sakit sehingga harus dipapah, tetapi spirit, energi dan antusiasmenya melebihi 100% untuk menghasilkan perubahan. Untuk itu, kita tidak pernah melihat Gus Dur kelelahan, jetlag, ataupun mager (malas gerak).

Kelima, kepemimpinan Gus Dur yang identik dengan cara berpikir sederhana (simple) dalam menyelesaikan persoalan. Ungkapannya “gitu aja kok repot” yang lawan politik menilai menyederhanakan masalah adalah mantra Gus Dur untuk menyelesaikan masalah. Simple di sini adalah bagaimana hal-hal pokok (essential)[i] diselesaikan dengan cara-cara terbaik nan mudah (effortless)[ii] untuk bisa direalisasikan (delivered) bagi masyarakat.[iii]

Keenam, seni kepemimpinan yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kebenaran (jujur), berani ambil risiko, mempertahankan kebenaran, independensi, dan berani melepaskan jabatan untuk mempertaruhkan yang lebih besar. Gus Dur adalah tipe pemimpin petarung, risk-taker, tak ingin diatur atau ditekan, tetapi disisi lain ia berani berkorban untuk meninggalkan jabatan.

Ketujuh, kepemimpinan yang memanfaatkan jokes sebagai cara membangun engagement (communicative), kritik (aggressive), ataupun self-reflections. Gus Dur adalah contoh pemimpin yang paling memahami lelucon. Walaupun pekerjaannya berat sebagai presiden, tampaknya Gus Dur masih mempertahankan cara-cara komunikasinya sejak dulu yakni humor.

Kedelapan, kepemimpinan yang otentik (authentic), apa adanya (real), tidak dibuat-buat (original) atau pencitraan. Apa yang dikerjakannya bukanlah semata-mata dibuat-buat atau untuk kepentingan pribadi. Melainkan perjuangan yang sudah lama menjadi concern-nya. Itulah otentik. Dengan perspektif ini, otentisitas ditentukan oleh kejujuran, kehormatan dan kepakaran.

Kesembilan, gaya kepemimpinan ala aktivis. Gus Dur adalah pemimpin berlatarbelakang aktivis. Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk membantu masyarakat. Aktivis tulen. Menurut Lucy Parker & Jon Miller dalam The Activist Leader: A New Mindset for Doing Business (2023), ada tiga ciri karakteristik aktivis: memiliki purpose yang mendorongnya untuk menciptakan perubahan, mempunyai daya tahan terhadap agenda perjuangannya (resilient), dan marketer nilai-nilai perjuangan (campaigner).

Catatan Akhir


[i] Greg McKeown, Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less, Crown Publishing Group, 2014.

[ii] Greg McKeown, Effortless: Make It Easier to do What Matters Most, Penguin Random House, 2021.

[iii] Marcia Blenko, Michael Mankins & Paul Rogers, Decide & Deliver: 5 Steps to Breakthrough Performance in Your Organization, Harvard Business Review Press, 2010.

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *