The Last Czars & Kepemimpinan yang Lemah

  • 4 min read
  • Jan 18, 2021
Kepemimpinan yang Lemah

Sebuah imperium yang berkuasa selama 300 tahun bisa jatuh karena kualitas kepemimpinan yang lemah (weak leadership). Nicholas II adalah contohnya.

Salah satu film mini series yang bisa menjadi bahan pembelajaran kepemimpinan, menurut saya, adalah The Last Czars (2019). Dengan gaya semidokumenter, film ini bercerita tentang proses kebangkitan dan kejatuhan generasi terakhir kekaisaran keluarga Romanov di Rusia yakni Nicholas II (1894-1917). Seperti kita ketahui, keluarga Romanov merupakan sebuah dinasti yang cukup lama menguasai sistem kerajaan di wilayah Rusia. Luasnya cakupan wilayah dan kekayaan alamnya membuat kekayaan keluarga ini dinilai sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Sayangnya, kekaisaran ini jatuh karena kepemimpinan yang lemah, sehingga meletuslah revolusi Bolshevik sebagai akibat ketidakpercayaan rakyat terhadap Tsar.

Berdasarkan cerita film The Last Czar, ada tiga indikator yang terlihat mengapa sebuah kepemimpinan bisa terlihat lemah. Pertama, tidak memiliki visi yang jelas. Visi yang jelas diperlukan sebagai target yang hendak dicapai, panduan mengarahkan atau memotivasi anak buah, mengukur kinerja, dan lainnya.

Kedua, ciri pemimpin lemah ialah tidak memiliki kapabilitas. Seorang pemimpin dituntut memiliki kapabilitas lebih dari anak buahnya. Pemimpin yang incapable akan mudah sekali terkecoh oleh laporan orang sekitar atau laporan anak buahnya. Ketiga, kurangnya perhatian terhadap stakeholder utama: konsumen atau rakyat. Kemampuan mendengarkan aspirasi rakyat adalah upaya mengukur sejauh mana keberhasilan capaian kinerja seorang pemimpin.

No Vision

Ketika sang ayah meninggal dan mewariskan tahta kekuasaan kekaisaran Rusia, tampaknya Nicholas II tidak memiliki rasa percaya diri untuk memimpin negara besar di tengah gelombang modernisasi yang sedang masif. Saat pidato penobatannya (1916), Nicholas II tampak tidak memiliki visi untuk menghadapi gelombang modernisasi yang terjadi di seluruh Eropa. Dalam bukunya John Paxton Leaders of Rusia and the Soviet Union (2004)., Nicholas II berpidato:

I know that recently, in zemstvo assemblies, there have been heard voices carried away by senseless dreams about the participation of zemstvo representatives in governmental affairs. Let everyone know that, devoting all my strength to the good of my people, I will preserve the principles of autocracy as firmly and undeviatingly as did my unforgettable late father.

Nicholas II. Source: John Paxton, Leaders of Russia and the Soviet Union (2004).

Padahal, ketika itu negara-negara monarki di Eropa sudah mulai banyak mengadopsi pemerintahan parlementer (untuk menampung aspirasi masyarakat). Karena bisikan dari sang paman Grand Duke Sergei Alexandrovich (1857-1905), Nicholas II dengan tegas menolak memberi ruang pemerintahan representatif. Banyak sejarawan melihat Nicholas II sebagai roang yang tidak memiliki visi terhadap kekaisaran Rusia. Inilah letak ciri kepemimpinan yang lemah fundamental.

Tidak Kapabel

Kesan mendasar yang terlihat saat menonton film The Last Czar ini adalah mudah terpengaruhnya Nicholas II oleh orang-orang sekitarnya. Sebut saja Grand Duke Sergei Alexandrovich (1857-1905), Alexandra Feodorovna (Alix of Hesse) (1872-1918) dan Grigori Yefimovich Rasputin (1872–1916). Sementara itu, saran atau usulan kebijakan dari perdana menteri dan menteri yang mengurusi bidangnya hampir jarang diikuti oleh sang kaisar. Inilah indikator kepemimpinan yang lemah bahwa ia tidak punya kemampuan, sehingga mudah terpengaruh oleh orang-orang sekitar yang disukainya.

Kepemimpinan yang Lemah
Pengaruh Grigori Rasputin Terhadap Tsar. Sumber foto di sini.

Memang, saat awal-awal menerima tampuk kekuasaan dari sang ayah Alexander III, Nicholas II dinilai tidak banyak memiliki pengalaman dalam pemerintahan. Untuk itu, titik lemah ini diambil oleh sang paman yaitu Grand Duke Sergei, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Moskow (1891-1905), yang tewas di tangan seorang sastrawan ternama Ivan Kalyayev (1877-1905).

Nicholas sendiri dinilai sebagai penguasa yang cenderung tidak percaya pada menteri-menterinya. Setelah kematian Grand Duke Sergei, ia banyak dipengaruhi oleh sang istri yang lebih dominan yakni Alexandra Feodorovna, seorang putri dari Jerman. Alexandra sendiri terkenal dengan skandalnya dengan seorang pendeta Grigori Rasputin, yang secara tidak langsung telah mempengaruhi keputusan kepemimpinan Nicholas II.

Kepemimpinan yang lemah inilah dinilai telah membuat Nicholas tak kuat menghadapi tekanan orang sekitar, dan rakyat pun menjadi korban. Dari sinilah, api revolusi di Rusia berkecamuk pada 1917-1918. Di saat memimpin, secara bersamaan Nicholas II menghadapi dua perang penting: Perang Rusia-Jepang (1904-1905) dan Perang Dunia I (1914-1918). Kedua perang ini menyingkap kepemimpinan yang lemah seorang Tsar yaitu bagaimana kemampuan mengelola organisasi, menganlisa masalah dan laporan dari anak buah, memotivasi tim, dan lainnya.

Kredibilitas Nicholas II tampak mulai goyah saat menghadapi perang antara Rusia dan Jepang, yang akhirnya kekaisaran Rusia kalah. Dari sini, Nicholas tidak terlihat memiliki keterampilan untuk memimpin para menteri dan jenderalnya untuk menganalisa kekuatan sumber daya sendiri, milik lawan, pemilihan pasukan, dan lainnya. Ia malah dinilai menjeremuskan pasukan

Kualitas kepemimpinan yang lemah ini semakin terlihat saat Perang Dunia I meletus dan wilayah kekaisaran Rusia diserang oleh Jerman. Saat itu, pasukan Rusia banyak menderita kekalahan dari Jerman, yang teknologinya lebih mutakhir. Rusia dinilai tidak memiliki teknologi senjata dan kepemimpinan yang kuat. Akhirnya, tak sedikit pasukan yang meninggalkan medan perang, malahan membelot menjadi pasukan tentara merah, khususnya di kalangan prajurit rendahan.

Kondisi Rakyat dan Laporan Angin Surga

Saat penobatannya sebagai kaisar pada 14 Mei 1896, Nicholas II mendapatkan laporan dari Grand Duke Sergei tentang adanya rakyat yang berkumpul di lapangan Khodynka untuk meramaikan pengangkatannya sebagai kaisar. Nicholas mendapatkan laporan ada sekitar 200.000 orang yang memenuhi lapangan itu. Kenyataannya, lapangan itu membludak hingga 800.000 yang hadir. Membludaknya jumlah orang yang datang membuat suasana lapangan pun kacau. 2.000 hingga 3.000 orang akhirnya meninggal karena tragedi Khodynka.

Semua berawal dari laporan “angin surga” yang baik-baik saja, tetapi sesungguhnya tidak menggambarkan kenyataannya. Secara sederhana, terlihat baik-baik saja, tetapi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Karena laporan baik-baik saja, para penguasa pun terbius oleh angin surga, sehingga kaget ketika secara perlahan meletus gerakan protes antipemerintahan Nicholas II.

Nicholas dinilai orang yang tidak tanggap terhadap kondisi rakyat. Ia dianggap mencerminkan sebagai aristokrat lama, yang kurang mempunyai empati terhadap permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Protes buruh, petani dan kaum revolusioner pada Januari 1905 dan berujung pada tragedi Bloody Sunday, Nicholas malah pergi ke luar St. Petersburg bersama keluarganya, daripada menghadapi pendemo atau menjenguk rakyatnya yang terbunuh atau terluka. Mereka membuat petisi, yang saya kutip dari buku John Paxton, seperti ini:

We working men of St. Petersburg, our wives and children, and our parents, helpless and aged men and women, have come to you, our ruler, in quest of justice and protection… We have no strength at all, O Sovereign. Our patience is at an end. We are approaching that terrible moment when death is better than the continuance of intolerable sufferings…

John Paxton, Leaders of Russia and the Soviet Union (2004).

Dengan tragedi ini, rakyat mulai melihat bahwa sang kaisar tidaklah mendengarkan keluhan atau memperhatikan nasib mereka. Ia lebih mementingkan keluarganya sendiri, dan Nicholas II pun menjadi musuh bersama. Rentetan peristiwa lainnya pun menggambarkan hal demikian: lunturnya kepercayaan rakyat atas kepemimpinan Nicholas II. Terlebih, adanya peristiwa skandal Alexandra Feodorovna-Rasputin, pengaruh Rasputin dalam mengontrol pemerintahan, tidak didengarnya pejabat menteri di sekitarnya, dan lainnya. Kepemimpinan yang lemah ini pun memicu amarah rakyat yang akhirnya berujung pada revolusi dan pembantaian keluarga Tsar di Yekaterinburg pada 16-17 Juli 1918.

Sumber foto: The Moscow Times & SVA Portfolios