Kepemimpinan Gus Dur, The Real President Tanpa Beban

  • 4 min read
  • Mar 18, 2023
Kepemimpinan Gus Dur

Bila kita belajar dari gaya kepemimpinan Gus Dur, maka ada satu kalimat yang menggambarkannya yakni dia the real president tanpa beban. Indikatornya, Gus Dur berani memecat/menggeser siapapun anggota kabinetnya, tanpa takut afiliasi politik sang menteri.

Oleh karena itu, tatkala melihat kondisi akhir-akhir ini tentang sikap para pemimpin terhadap kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan kekayaan para pejabat yang tidak wajar di Kementerian Keuangan, saya menjadi teringat tentang Gus Dur. Seandainya Gus Dur yang menjadi presiden, barangkali sang menteri keuangan sudah dicopot.

Maka, ketika menyaksikan peristiwa hari ini, adanya skandal besar di Kementerian Keuangan, tetapi presiden Jokowi seolah tidak melakukan tindakan apapun. Kita menjadi bertanya-tanya, bagaimana komitmen presiden Jokowi terhadap nilai-nilai demokrasi dan penegakkan hukumnya. Sang menteri dinilai terlalu sibuk bermain citra di luar dengan public relations (PR), dan tidak ada gebrakan tindakan di dalam. Untuk itu, tak heran bila banyak orang merasa kecewa dengan Sri Mulyani, yang dahulu dianggap hebat, tetapi adanya kasus ini justeru ia kian diragukan.

Meskipun memiliki keterbatasan fisik, tetapi keyakinan Gus Dur terhadap nilai-nilai demokrasi, law enforcement dan keberaniannya untuk menegakkannya tidak diragukan. Karena itu, contoh sederhananya, bila urusan dengan anak buah, Gus Dur tak sungkan memecatnya walaupun bisa berdampak pada daya tawar kekuatan politiknya. Wiranto, Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, Hamzah Haz, Kwik Kian Gie, Yusril Ihza Mahendra, Bambang Sudibyo, Bondan Gunawan, dan lainnya adalah beberapa nama yang dicopot atau diminta mengundurkan diri oleh Gus Dur. Bagi Gus Dur, memecat ataupun menggeser orang itu hal biasa.

Barangkali karena posisinya sebagai presiden tanpa beban, masa kepemimpinannya yang singkat (1999-2001), Gus Dur meninggalkan warisan kepemimpinan yang akan dikenang banyak orang. Bagi ekonom, Gus Dur diakui mampu mendongkrak daya beli rakyat pasca-krisis dan mengubah pertumbuhan dari -3% ke 4,5%. Bagi pegiat HAM, Gus Dur diakui berani memberhentikan Wiranto yang waktu itu dinilai terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor-Timur. Di mata kelompok pro good governance, Gus Dur tidak takut memberhentikan Jusuf Kalla yang dinilai conflict of interest sebagai Kabulog dan Menteri Perdagangan. Bagi orang Papua, Gus Dur dikenang sebagai orang yang berani untuk memberi kebebasan berekspresi. Bagi kelompok minoritas, Gus Dur dikenang sebagai orang pro-kesetaraan dan anti-diskriminasi.

Tiga Pelajaran Kepemimpinan Gus Dur

Ada tiga pelajaran penting bagaimana gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menangani tim atau bawahannya. Pertama, walaupun menerima usulan kandidat dari partai politik penyokong, Gus Dur menggunakan hak prerogratifnya untuk menentukan siapa yang layak dipilih, digeser ataupun dipecat. Dengan begitu, Gus Dur tidak ingin diatur oleh siapapun, karena dia merasa berhak menjalankan fungsinya sesuai konstitusi. Bila di awal-awal pemerintahannya, kabinet Gus Dur dinilai “warna-warni” sebagai hasil kompromi “politik dagang sapi” dengan parpol penyokongnya untuk menentukan posisi menteri, tetapi di periode-periode berikutnya, keputusan Gus Dur yang jauh lebih dominan. Kuatnya dominasi Gus Dur ini sesungguhnya memiliki dua sisi: di satu sisi Gus Dur jadi leluasa menciptakan orkestrasi kabinet sesuai kebutuhannya, tetapi di pihak lain ia menjadi bom waktu ketidakharmonisannya dengan sang wakil presiden Megawati dan koalisinya.

Harus diakui, hak pregrogatif Gus Dur terbilang efektif mencari format kabinet yang diinginkan. Efektivitas pemerintahan Gus Dur dalam mencapai banyak hal tidaklah terlepas dari kemampuannya memilih orang untuk menjadi menteri. Gus Dur punya tiga kriteria untuk memilih sang menteri, yakni jujur dan hidup sederhana, tahu apa yang harus dikerjakan, dan diterima oleh masyarakat luas. “So, we don’t base that (cabinet) on political affiliation, but on skill,” ujar Gus Dur ketika diwawancarai media asing.

Kedua, ketika Gus Dur menerima laporan atau pengaduan tentang sang menteri dari pihak-pihak yang dipercaya, ia tak sungkan untuk memecat para menterinya. Ketika mendengar kabar ada orang bermain proyek di Bulog dan conflict of interest, Gus Dur tak sungkan memecat sang Kabulog. Mendengar laporan dari Komnas HAM tentang keterlibatan pelanggaran HAM di Timor-Timur, Gus Dur segera meminta Wiranto untuk mengundurkan diri. Tanpa menunggu keputusan proses peradilan, dan Gus Dur yang ketika itu sedang lawatan ke beberapa negara, mengumumkan melalui media massa untuk meminta Wiranto mundur. Begitulah Gus Dur, the real president Indonesia tanpa beban.

Ketiga, Gus Dur menganggap kegaduhan di dalam kabinetnya itu hal biasa. Dalam sebuah artikel di Kompas (Kompas, 08/07/2000), seorang penulis mempertanyakan apakah sisi kontroversi Gus Dur ketika menjabat presiden itu sebagai berkah atau bukan? Saat itu, tak sedikit para pengamat atau media massa menganggap masa kepresidenan Gus Dur itu gaduh. Penyebabnya disinyalir dari ketidakmampuan Gus Dur mengelola pemerintahannya, ketidakompakkan di dalam dapur kabinet, para pembisik yang terlalu didengar sang presiden, lontaran jokes Gus Dur, keberanian ambil risiko dalam mengambil kebijakan, tak segan memecat menterinya, dan lainnya. Dengan kata lain, susana pemerintahan Gus Dur pun tak pernah luput dari kontroversi. Lantas, menurut sang penulisnya, kenyelenehan Gus Dur itu harus dilihat dari kacamata rasional. Artinya, apakah langkah yang diambil oleh Gus Dur sudah bisa dianggap masuk akal atau tidak.

Tak bisa dipungkiri, Gus Dur memang dikenal sebagai presiden yang pemerintahannya cukup gaduh dan kontroversial. Tetapi, bila kita menilai hasil kinerjanya, banyak orang mengaguminya. Gus Dur mampu mendongkrak kinerja ekonomi, mendorong demokratisasi, kesetaraan hak warga, persatuan nasional, dan lainnya. Bila melihat kenyataannya saat ini, hampir sebagian besar keputusan yang diambil oleh Gus Dur diakui kebenarannya. Ambil contoh, lontaran jokes tentang DPR dan Taman Kanak-Kanak (TK), banyak orang mengamininya saat ini. Hal lain, keberanian Gus Dur memecat menteri yang berbisnis pun diacungi banyak orang karena menegakkan profesionalisme. Tak hanya itu, Gus Dur juga berani memecat seorang purnawirawan jenderal berpengaruh karena ia menerima laporan tentang keputusan lembaga HAM tingkat dunia yang memvonis bersalah atas aksinya di masa lalu. Pertanyannya, mengapa Gus Dur berani ambil risiko dan kontroversi? Gus Dur pernah menuliskan artikel Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut (1999), dimana menurutnya orang Indonesia dinilai lebih menyukai Soekarno daripada Bung Hatta. Padahal, Bung Hatta dikenal sebagai orang yang rela mengorbankan jabatannya demi mempertahankan prinsipnya. Pilihan ini, menurut Gus Dur, rupanya menyiratkan suatu preferensi gaya kepemimpinan (leadership style), di mana mayoritas masyarakat Indonesia lebih suka damai, walaupun pemimpinnya memupuk kejayaan pribadi. Ini seolah menjadi hal normal. Dengan demikian, berkaca dari Pemerintahan Gus Dur, sebenarnya tidak ada yang salah dengan kegaduhan di alam demokrasi sejauh dapat mendorong perubahan untuk mementingkan kepentingan rakyat dan negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *