Bagi pakar kepemimpinan John C. Maxwell, krisis adalah ujian kualitas kepemimpinan seorang pemimpin. Kualitas dan karakter seorang pemimpin akan terlihat disaat krisis. Untuk itu, tak sedikit orang mengaitkan bahwa kepemimpinan adalah seni. Adanya tragedi di Kanjuruhan (1/10), boleh jadi ini memicu untuk menguji kualitas kepemimpinan sejumlah tokoh pemimpin. Diantara para tokoh yang muncul, akhir-akhir ini, perhatian publik tertuju pada Ketua Umum (Ketum) PSSI Mochamad Iriawan (Iwan Bule).
Apalagi, akhir-akhir ini, kualitas kepemimpinan Ketum PSSI benar-benar sedang diuji. Pascatragedi Kanjuruhan, tak henti-hentinya sosok Iwan Bule ini membuat kontroversi, seperti memilih tidak mundur dari posisi walaupun didesak, menghindari wartawan saat di kantor Kemenkopolhukam, dan kini muncul unggahan media sosial sedang Fun Football bersama Presiden FIFA Gianni Infantino yang dianggap nirempati. Berbagai kontroversi ini seperti mengarah pada berkurangnya respek masyarakat terhadap sosok Iwan Bule.
Lantas, bagaimana kualitas kepemimpinan Ketum PSSI? Belum lama ini, Shin Tae-yong (STY) mengunggah pernyataan di Instagram untuk memilih mundur bila sang Ketum PSSI didesak turun. Alasannya, karena merasa satu tim, jika sang Ketum mundur, otomatis ia pun harus mundur. Dengan pernyataan yang sedikit “mengancam” itu, tampaknya ini menjadi bola liar pro-kontra di masyarakat. Bahkan, tidak sekadar STY, beberapa pemain timnas pun memberikan testimoni bahwa sang ketum dianggap memimpin PSSI lebih baik dari era sebelumnya.
Dengan sikap STY dan pandangan para pemain timnas, apakah ini menandakan bahwa kualitas kepemimpinannya Iwan Bule sudah bagus? Terlepas dari ada atau tidak adanya tekanan kepada mereka, kemauan pasang badan ini tidaklah mudah karena reputasi dan kredibilitas dipertaruhkan demi membela sang Ketum PSSI. Dengan demikian, adanya “pembelaan” dari pelatih dan pemain timnas ini memiliki pesan bahwa kepemimpinan Ketum PSSI sudah bagus sehingga anggap inipun dapat meningkatkan kepercayaan diri Iwan Bule untuk memilih tidak mundur.
Akan tetapi, menurut hemat penulis, adanya fenomena tuntutan pengunduran diri dan bagaimana Iwan Bule merespons ini menunjukkan tentang kualitas kepemimpinannya. Dalam bukunya, The 21 Indispensable Qualities of Leader (1999), John C. Maxwell menyebutkan bahwa kualitas kepemimpinan ini dibentuk dari karakter dan kapabilitas.
Karakter mencerminkan kepribadian yang ditunjukkan oleh sikap ataupun perilaku seorang pemimpin. Tindakan adalah ukuran nyata karakter seseorang. Sementara itu, kapabilitas ialah keterampilan yang diperlukan pemimpin dalam menjalankan roda organisasi. Kemampuan mengelola, memimpin, memotivasi dan memberdayakan orang serta tim di dalam organisasi adalah ukuran keterampilan.
Tanggung Jawab
John C. Maxwell menyebutkan bahwa salah satu ciri kualitas kepemimpinan ialah memiliki rasa tanggung jawab. Cara sederhana mengukur kepemimpinan yang bertanggung jawab ialah ia tidak ngeles, berani mengambil tindakan untuk menuntaskan dan mengedepankan kemaslahatan bersama.
Pemimpin yang bertanggung jawab tidak mengatakan “itu bukan pekerjaan saya”. Ia totalitas menyelesaikan masalah demiki kebaikan organisasi dan masyarakat serta mengesampingkan kepentingan personal. Ia akan merasa malu bila pekerjaanya tidak sempurna atau mengecewakan pihak lain.
Hingga saat ini, ketika muncul desakan dituntut mundur, tidak ada tanda-tanda sang Ketum PSSI legawa untuk memilih lengser. Contoh simpelnya, saat pertemuan dengan TGIPF kemarin di Kemeko Polhukam RI, Iwan Bule memilih keluar melalui pintu belakang daripada menghadapi pers. Ini contoh peristiwa kecil yang tampaknya sang Ketum PSSI enggan ditanya dan didesak mundur.
Keengganan dituntut mundur juga dilandaskan pada Pasal 3 pada Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI 2021 dimana PSSI tidak bisa dikaitkan apabila ada kecelakaan dalam pertandingan. Untuk itu, dalam tragedi di Kanjuruhan, PSSI menilai bahwa peristiwa itu sepenuhnya tanggung jawab panitia pelaksana.
Dengan begitu, peraturan itu telah menjadi dalih untuk ngeles dari tanggung jawab. Sementara itu, sejumlah pengamat sepakbola bahwa secara hierarkis, PSSI adalah organisasi yang paling bertanggung jawab atas tragedi di Kanjuruhan. Dengan demikian, ngelesnya PSSI ini menunjukkan kualitas kepemimpinan PSSI yang kurang bertanggung jawab.
Rendahnya Kepercayaan
Menurut pakar kepemimpinan David H. Maister, kepercayaan itu diperoleh (earned) dan selayaknya (deserved). Pemimpin tidak bisa sekadar mengatakan “Trust me!”. Lebih dari itu, ia harus melakukan sesuatu terlebih dahulu (give) untuk memperoleh kepercayaan (get). Cara terbaik memperoleh kepercayaan itu dengan jalan kemampuan (capability), kehandalan (reliability), kedekatan (intimacy), dan tidak mementingkan kepentingan sendiri.
Adanya tuntutan pengunduran diri sang Ketum PSSI oleh suporter ataupun warganet, ini menunjukkan tanda-tanda rendahnya kepercayaan mereka terhadap Iwan Bule. Pertandingan yang memakan korban hingga 132 orang pada malam 1 Oktober dinilai sebagai bukti ketidakmampuan PSSI menerapkan ketentuan pengamanan penonton standard FIFA.
Tuntutan suporter untuk mengusut tragedi di Kanjuruhan direspons oleh jajaran PSSI dan kepolisian secara cepat. Sayangnya, beberapa temuan itu justeru menimbulkan keraguan kebenarannya seperti penggunaan gas air mata yang tidak mematikan, pengakuan penjual es dawet dan penemuan botol miras yang sebenarnya adalah obat ternak. Penemuan fakta baru ini kian menempatkan posisi sang Ketum PSSI di ujung tanduk kepercayaan masyarakat.
Kini, setelah mendapatkan surat dari FIFA, Indonesia dituntut untuk melakukan transformasi. Melihat penanganan tragedi di Kanjuruhan selama ini, apakah sang ketum PSSI dan jajarannya bisa dipercaya mengemban amanat ini ke depan?
Kemampuan Mendengarkan Cermin Kualitas Kepemimpinan
Seorang pemimpin yang hebat bukanlah sekadar ahli pidato atau beretorika. Kemampuan mendengarkan adalah ciri penting kualitas kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki daun telinga lebar untuk menyerap berbagai keluhan, aspirasi, usulan, hujatan, tuntutan hingga ketidakpuasan masyarakat. Melalui kemampuan mendengarkan, seorang pemimpin memiliki peluang untuk berbenah. Sebaliknya, bila masyarakat merasa tidak ada perbaikan oleh seorang pemimpin, ini menandakan bahwa kualitas kepemimpinannya dinilai kurang peka dalam mendengarkan aspirasi audiensnya. Menguatnya tuntutan agar Ketum PSSI oleh suporter, sedangkan di sisi lain sang Ketum PSSI tampak memilih untuk berdiam, ini menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinannya kurang responsif. Bahkan, kemunculan pernyataan STY beserta pemain timnas seolah-olah ada upaya untuk memperkuat posisinya dari ancaman. STY dan para pemain timnas ini seolah menjadi “alat tawar” yang bisa mengamankan kursi Ketum PSSI. Akibatnya, suporter pun kini terpecah belah antara yang setuju dan tidak setuju mundur.