Harus diakui, Anies Baswedan adalah salah satu kandidat presiden yang punya wawasan dan manajemen kepemimpinan cukup mumpuni. Diantaranya adalah menginisiasi Desak Anies. Popularitas acara Desak Anies pun kian populer di media sosial dan marak dihadiri. Dalam hal ini, Anies membawa cara baru untuk berkampanye. Dengan umumnya format indoor, acara ini memang terlihat ini intim, tetapi inklusi. Bila ditinjau dari sisi cara komunikasi kepemimpinan, menurut penulis ini adalah terobosan baru dalam kampanye.
Pertama, Desak Anies merupakan sarana kandidat untuk mendengarkan keluhan dan permasalahan masyarakat, dan bagi rakyat acara ini sebagai ajang untuk mendengarkan langsung keberpihakan, visi, dan program sang calon. Ini cara bagus untuk menyelami gap antara kebijakan dan permasalahan di masyarakat. Kedua, Desak Anies sebagai medan ujian kapabilitas dan wisdom seorang kandidat pemimpin saat ditanya masyarakat tentang apapun, dikonfrontasi, didebat, membuktikan rekam jejak, hingga menyepakati rekam jejak. Ini alamat baik bagi pendidikan politik warga. Ketiga, Desak Anies adalah upaya menggeser taktik kampanye dari nilai emosional ke rasional. Di forum ini, kandidat pemimpin dipaksa harus bisa menjelaskan secara mudah, sistematis, hingga detail teknis, bukan sekadar jualan slogan nasionalisme dan patriotisme. Ini suatu hal bagus untuk taktik kampanye yang efisien untuk mengonversi potential voters yang belum punya pilihan.
Kemampuan Mendengarkan
Kesuksesan Jokowi terpilih sebagai Presiden RI pada 2014, salah satunya, dipicu oleh kemampuan mendengarkan. Presiden kala itu, SBY, dari sisi komunikasi dinilai terlalu elitis, sehingga ketika Jokowi sering blusukan ke berbagai tempat, masyarakat menyukai caranya. Esensi dari blusukan adalah kemauan mendengarkan kesaksian dan keluhan rakyat, penerima manfaat program atau kebijakan Pemerintah. Kemampuan ini memikat orang untuk memilih Jokowi. Kini, Anies belajar dari sosok Jokowi. Dengan format berbeda ala orang debat terbuka kelompok terdidik, Anies mendesain acara Desak Anies sebagai upaya mendengarkan.
Sebagaimana disampaikan oleh banyak pakar kepemimpinan, disamping mumpuni berpidato yang memikat, salah satu kapabilitas yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah mendengarkan. Bahkan, menurut Ron Ashkenas, kemampuan mendengarkan jauh lebih penting daripada sekadar mampu berdebat. Dalam tulisannya, ia menyebutkan bahwa anak buah atau audiens lebih suka didengarkan daripada pemimpin yang piawai meyakinkan orang. Untuk itu, tidak heran bila acara Desak Anies ini antusias didatangi oleh warga karena mereka ingin didengar, dan rakyat ingin mendengar apakah program yang disampaikan Anies itu sudah memihak mereka atau belum.
Dalam mendengarkan, dibutuhkan kesabaran, empati, dan memahami persoalan yang mereka hadapi. Ini tidak mudah karena diperlukan emotional intelligence yang matang agar tetap terkontrol, tidak tersulut, dan ketangguhan intelektual dalam menjawab semua yang ditanyakan. Dan, banyak orang yang acungkan jempol terhadap kecerdasan emosional Anies di acara tersebut.
Melampaui Pengetahuan
Dalam format audiens terbuka, Desak Anies membuka selebar-lebarnya orang untuk bertanya apapun. Dalam hal ini, bisa saja muncul pertanyaan-pertanyaan kejutan dari masyarakat. Hanya pemimpin yang memiliki kapabilitas intelektual dan wisdom yang dapat menjawab berbagai kejutan itu. Ini bukan soal lagi uji pengetahuan, melainkan wisdom. Seperti dikemukakan oleh Scott E. Page dalam buku The Model Thinker (2018), wisdom sebagai puncak hirarki wawasan dan pengalaman seorang pemimpin.
Oleh karena itu, acara Desak Anies bukanlah sekadar uji menjawab pengetahuan dan adu data semata, melainkan bagaimana memahami persoalan, menganalisa, memberi jalan keluar berdasarkan wawasan dan pengalaman. Semua yang dimiliki kandidat seolah-olah harus dikerahkan untuk siap menjawab berbagai keluhan masyarakat dalam durasi tertentu. Ini bukan perkara mudah untuk mampu bertahan di dalam forum demikian.
Tak hanya itu, wisdom Anies pun ditunjukkan dalam kesediaannya untuk kesepakatan kontrak politik sebagai garansi. Dengan cara ini, Anies tidak sekadar bersedia berargumen, melainkan komitmen untuk mengimplementasikannya jika terpilih kelak.
Bergeser ke Nilai Rasional
Dari sisi strategi kampanye, Desak Anies adalah cara menjelaskan program secara langsung di lapangan kepada target audiens agar mereka tahu apa yang akan dikerjakannya. Dalam perspektif komunikasi pemasaran, ini adalah bentuk rational value proposition. Artinya, apa yang ditawarkan berusaha dijelaskan secara masuk akal, rasional, dan bisa dibuktikan. Bukan sekadar gembar-gembor slogan untuk mempengaruhi massa. Dengan begitu, cara-cara kampanye seperti ini cocok untuk masyarakat berbagai kalangan, baik yang berpendidikan ataupun melek politik.
Sejauh ini, para audiens hanya mengetahui kapabilitas kandidat di acara-acara debat yang diselenggarakan penyelenggara resmi ataupun media massa. Acara debat sendiri dinilai cenderung ke arah entertainment daripada pendidikan politik. Kandidat tidak punya waktu banyak mengelaborasi gagasan, sehingga tidak cukup bagi audiens untuk mengenali nilai manfaat program yang ditawarkan secara rasional.
Desak Anies pun menjadi alternatif bagi calon pemilih untuk benar-benar menguliti kapabilitas dan komitmen keberpihakan kandidat secara rasional. Dan, bila Desak Anies dirasakan manfaatnya, ini bukan tidak mungkin sebagai cara untuk mengonversi potential voters di kalangan orang terdidik, masyarakat umum, dan lainnya. []